Manusia
dalam mempertahankan hidupnya melakukan berbagai macam cara, salah satunya
adalah melakukan kegiatan atau aktivitas bisnis. Melalui kegiatan itu manusia
dapat memenuhi tuntutan hidupnya yang semakin hari semakin komplek. Kehidupan
manusia di zaman modern ini begitu cepat berputar. Setiap hari manusia bekerja
demi mempertahankan hidupnya. Kehidupan yang serba cepat memacu manusia untuk
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara cepat pula. Pemenuhan kebutuhan hidup
secara cepat telah mendorong dan membuka peluang bagi manusia untuk melakukan
kegiatan bisnis. Aktivitas bisnis itu sendiri diwarnai oleh berbagai bentuk
hubungan bisnis atau kerjasama bisnis yang melibatkan para pelaku bisnis.
Hubungan bisnis atau kerjasama bisnis yang terjadi sangat beraneka ragam
tergantung pada bidang bisnis apa yang sedang dijalankan. Dengan semakin
berkembangnya aktivitas bisnis sekarang ini maka keperluan akan modal atau dana
bagi pelaku usaha juga semakin meningkat. Oleh karena itu, sarana penyediaan
dana yang dibutuhkan oleh pelaku usaha atau masyarakat perlu diperluas. Umumnya
dana yang dibutuhkan tersebut dapat disediakan oleh lembaga perbankan melalui
fasilitas kredit. Namun, fasilitas kredit dari perbankan sangat terbatas dan
tidak semua pelaku usaha punya akses untuk mendapatkan bantuan pendanaan dari
bank. Selain itu lembaga perbankan ini juga memerlukan jaminan yang kadang kala
tidak bisa dipenuhi oleh pelaku usaha yang bersangkutan, maka perlu suatu upaya
lain yaitu tanpa jaminan dan lebih mudah prosesnya. Upaya lain tersebut dapat
dilakukan melalui suatu jenis badan usaha yaitu melalui Lembaga Pembiayaan.
Munculnya lembaga pembiayaan ini turut memacu roda perekonomian masyarakat dan turut
membawa andil yang besar dalam pembangunan ekonomi masyarakat khususnya
masyarakat kecil. Namun sayangnya pertumbuhan institusi perekonomian tersebut
tidak ditopang oleh pembangunan hukum yang memadai, sehingga Pemerintah
diharapkan selalu memberi bimbingan dan pengarahan terhadap masyarakat tentang
perekonomian, yaitu menyempurnakan Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988
dengan peraturan yang baru yaitu Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang
Lembaga Pembiayaan, Sehingga dengan adanya Peraturan Presiden yang baru dapat
memberikan kontribusi yang baik dan pembangunan hukum yang memadai dengan
meningkatkan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat akan kebutuhan
dana.
BAB 1. Pengertian Dan Tujuan Hukum
1. Pengertian Hukum
1.1
Apakah Sebenarnya Hukum Itu ?
Hukum
merupakan sebuah sistem yang diciptakan oleh manusia dalam membatasi setiap
tingkah laku atau kegiatan manusia, agar tingkah laku tersebut tidak merugikan
orang lain. Dengan adanya hukum, setiap orang tentu tidak bisa sewenang -
wenang terhadap sebuah aturan maupun orang lain. Dalam kehidupan bermasyarakat
atau berkelompok memiliki aturan tertentu, agar tercipta keamanan dan
kenyamanan dalam berkehidupan. Setiap masyarakat tentu memiliki hak untuk
mendapatkan pembelaan di mata hukum. Tujuan hukum memiliki sifat yang
universal, seperti mencakup kebahagiaan, kesejahteraan, kedamaian dan ketentraman
dalam kehidupan bermasyarakat.
1.2
Hukum Menurut Pendapat Para Sarjana
Pengertian
Hukum menurut pandangan beberapa ahli hukum ialah sebagai berikut
:
Pengertian Hukum menurut E. Utrecht adalah himpunan petunjuk hidup yang mengatur tata tertib
dalam suatu masyarakat dan seharusnya di taati oleh anggota masyarakat yang
bersangkutan, oleh karenanya pelanggaran terhadap petunjuk hidup itu dapat
menimbulkan tindakan dari pemerintah masyarakat itu.
Menurut
A. Ridwan Halim, Pengertian Hukum merupakan peraturan
yang tertulis maupun yang tidak tertulis, yang pada dasarnya peraturan tersebut
berlaku dan diakui orang sebagai peraturan yang harus ditaati dalam hidup
bermasyarakat.
Dari
pendapat para sarjana diatas dapat disimpulkan
bahwa, pengertian hukum adalah
seperangkat norma atau kaidah yang berfungsi mengatur tingkah laku manusia
dengan tujuan untuk ketentraman dan kedamaian di dalam masyarakat.
1.3
Definisi Hukum Sebagai Pegangan
Drs.
E. Utrecht, SH dalam bukunya yang berjudul "Pengantar Dalam Hukum Indonesia"
(1953) telah mencoba membuat suatu batasan, yang maksudnya sebagai pegangan
bagi orang yang sedang mempelajari Ilmu Hukum.
Hanya
diingatkan, bahwa definisi yang diberikan Drs. E. Utrecht, SH itu merupakan
pegangan semata yang maksudnya menjadi satu pedoman bagi setiap wisatawan hukum
yang sedang bertamasya di alam hukum.
Utrecht
memberikan batasan hukum sebagai berikut :"Hukum itu adalah himpunan peraturan-peraturan
(perintah - perintah dan larnangan - larangan) yang mengurus tata tertib suatu
masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh
masyarakat
itu".
Selain
Utrecht juga beberapa Sarjana Hukum Indonesia lainnya telah berusaha merumuskan tentang apakah Hukum itu, yang
diantaranya ialah :
a.
S.M. Amin
Hukum
adalah sekumpulan peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi. Hukum bertujuan
untuk memperadakan ketertiban dalam pergaulan individu agar ketertiban dan
keamanan terpelihara dengan baik.
b.
J.C.T. Simorangkir
Hukum
adalah sebuah aturan yang memiliki sifat memaksa dan selalu menentukan perilaku
manusia di lingkungan masyarakat dan lingkungan yang dibuat oleh lembaga yang
berwenang.
Analisis :
Menurut
Abdulkadir Muhamad, yang dimaksud dengan lembaga keuangan (financial institution)
adalah badan usaha yang mempunyai kekayaan dalam bentuk asset keuangan
(financial assets). Kekayaan dalam bentuk aset keuangan ini digunakan untuk
menjalankan usaha dibidang jasa keuangan, baik penyediaan dana untuk
membiayai usaha produktif dan kebutuhan konsumtif, maupun jasa keuangan bukan
pembiayaan.
Lembaga
pembiayaan termasuk bagian dari lembaga keuangan. Lembaga pembiayaan adalah
badan usaha diluar bank dan termasuk dalam lembaga keuangan bukan bank yang
khusus melakukan kegiatan dalam bidang usaha lembaga pembiayaan.
Berdasarkan
penjelasan pengertian hukum diatas baik dilihat dari segi pengertian hukum itu
sendiri, menurut para ahli, dan definisi hukum sebagai pegangan, apabila
dikaitkan dengan Pengertian Hukum Pembiayaan, maka dapat disimpulkan bahwa
hukum pembiayaan adalah hukum yang mengatur suatu kegiatan yang dilakukan dalam
bentuk penyediaan dana bagi konsumen untuk pembelian barang yang pembayarannya
dilakukan secara angsuran ataupun berkala oleh konsumen.
1.4
Unsur – unsur Hukum
Dari
bebarapa perumusan tentang hukum yang diberikan para Sarjana Hukum Indonesia
tersebut di atas, dapatlah diambil kesimpulan, bahwa Hukum itu meliputi
beberapa unsur, yaitu :
a. Peraturan tentang tingkah laku atau perilaku
manusia dalam pergaulan masyarakat.
b. Peraturan itu diadakan oleh setiap
badan-badan resmi yang berwajib.
c.
Peraturan
itu memiliki sifat memaksa.
d. Sanksi terhadap pelangggaran
peraturan tersebut ialah tegas.
Analisis
:
Menurut
keppres No.61 Tahun 1988 dijelaskan bahwa lembaga pembiayaan adalah badan usaha
yang dilakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau modal
dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat.
Dari pengertian tersebut di atas
terdapat beberapa unsur-unsur :
1. Badan
usaha, yaitu perusahaan pembiayaan yang khusus didirikan untuk melakukan
kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha lembaga pembiayaan.
2. Kegiatan
pembiayaan, yaitu melakukan kegiatan atau aktivitas dengan cara membiayai pada
pihak-pihak atau sektor usaha yang membutuhkan.
3. Penyediaan
dana, yaitu perbuatan menyediakan dana untuk suatu keperluan.
4. Barang
modal, yaitu barang yang dipakai untuk menghasilkan sesuatu.
5. Tidak
menarik dana secara langsung.
6. Masyarakat,
Yaitu sejumlah orang yang hidup bersama di suatu tempat.
Selain
itu juga Menurut Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Lembaga
Pembiayaan, Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan
pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal.
Dari
bebarapa perumusan tentang hukum lembaga pembiayaan diatas dapat disimpulkan
bahwa hukum lembaga pembiayaan meliputi beberapa unsur, yaitu peraturan yang
mencakup tentang kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam
melaksanakan kegiatan usahanya; Peraturan yang mengatur tentang lembaga
pembiayaan di Indonesia dibuat oleh setiap badan – badan resmi yang berwajib;
Peraturan tersebut memiliki sifat memaksa; serta Memiliki sanksi tegas terhadap
pihak – pihak yang melanggar peraturan tersebut.
1.5
Ciri – ciri Hukum
Untuk
dapat mengenal hukum itu kita harus dapat mengenal ciri-ciri hukum yaitu:
a. Adanya
perintah dan atau larangan.
b.
Perintah dan atau larangan itu harus patuh ditaati setiap orang.
Barang
siapa yang dengan sengaja melanggar sesuatu Kaidah Hukum akan dikenakan sanksi
(sebagai akibat pelanggaran Kaidah Hukum) yang berupa hukuman.
Analisis :
Sudah sangat jelas di dalam hukum
lembaga pembiayaan terdapat perintah dan atau larangan yang harus dipatuhi oleh
pihak – pihak yang menjalankan perusahaan pembiayaan.
Salah satu peraturan yang tidak
diperkenankan bagi suatu perusahaan pembiayaan adalah menarik dana
secara langsung dari masyarakat dalam bentuk Giro; Deposito;
Tabungan; dan Surat sanggup
bayar (promissory notes), jika surat sanggup bayar tersebut hanya dipakai
sebagai jaminan hutang ke pada bank yang menjadi kreditnya.
Maka
dapat disimpulkan bahwa, apabila ada pihak yang dengan sengaja melanggar kaidah
hukum yang telah ditetapkan maka akan dikenakan sanksi tegas berupa hukuman.
1.6
Sifat Dari Hukum
Agar
tata tertib dalam masyarakat itu tetap terpelihara, maka haruslah kaidah-kaidah
hukum itu ditaati. Akan tetapi tidaklah semua orang mau menaati kaidah-kaidah
hukum itu; dan agar sesuatu peraturan hidup kemasyarakatan benar-benar dipatuhi
dan ditaati sehingga menjadi Kaidah Hukum maka peraturan hidup kemasyarakatan
itu mesti diperlengkapi dengan unsur memaksa.
Dengan
demikian hukum ini memiliki sifat mengatur dan memaksa. Ia merupakan
peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan yang dapat memaksa orang supaya
mentaati tata tertib dalam masyarakat serta memberikan sanksi yang tegas berupa
hukuman terhadap siapa yang tidak mau patuh mentaatinya.
Analisis :
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa hukum lembaga pembiayaan memiliki sifat
mengatur dan memaksa. Hukum tersebut merupakan peraturan-peraturan tentang
ketentuan dan tata cara pelaksanaan lembaga pembiayaan di Indonesia yang dapat
memaksa pihak – pihak yang menjalankan perusahaan pembiayaan agar mentaati tata
tertib yang telah ditentukan serta memberikan sanksi tegas berupa hukuman
terhadap siapa yang tidak mau patuh mentaatinya.
2.
Tujuan Hukum
Berkenaan
dengan tujuan hukum, maka kita akan mengenal beberapa pendapat para ahli hukum
tentang tujuan hukum yang diantaranya sebagai berikut :
Menurut
Professor Lj. Van Apeldoorn, Tujuan
Hukum adalah untuk mengatur tata tertib di dalam masyarakat dengan damai dan
adil. Untuk kedamaian hukum, masyarakat yang adil harus diciptakan dengan
mengadakan perimbangan antara kepentingan yang bertentangan satu dan lainnya.
Menurut Van Apeldoorn, disamping tujuan tersebut, Tujuan hukum adalah mengatur
pergaulan hidup manusia secara damai. Hukum menghendaki perdamaian. Perdamaian
di antara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi
kepentingan-kepentingan hukum manusia tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa,
harta benda terhadap pihak yang merugikan.
Menurut Subekti, Tujuan Hukum adalah untuk melayani
kehendak negara, yaitu mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan bagi rakyat.
Dalam melayani tujuan negara, hukum memberikan keadilan dan ketertiban bagi
masyarakatnya.
Analisis :
Dari
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam menyikapi perkembangan lembaga
pembiayaan saat ini sudah tiba saatnya tersedia peraturan yang lebih memadai
dan tidak hanya sekedar berbentuk Keppres dan Surat Keputusan Menteri. Sektor
hukum diharapkan lebih berperan dalam mengantisipasi perkembangan dibidang
ekonomi dan bisnis, termasuk perkembangan dalam bisnis lembaga pembiayaan, yang
diharapkan disini adalah adanya peraturan hukum yang berbentuk undang-undang
mengatur lembaga pembiayaan, guna lebih menjamin kepastian hukum. Tidak dapat
dipungkiri bahwa hukum yang mengatur tentang lembaga pembiayaan atau hukum
Lembaga Pembiayaan merupakan hal urgen harus ada dalam konteks perkembangan
dibidang bisnis, yang nantinya diharapkan dapat mengatur aktivitas bisnis
lembaga pembiayaan tersebut.
Perkembangan
dibidang bisnis menuntut secara cepat agar bidang hukum juga dapat
mengimbanginya, seperti dikemukakan oleh Munir Fuady bahwa perkembangan sektor
hukum bisnis yang begitu cepat menyertai perkembangan dibidang bisnis, membawa
konsekuensi terhadap perlunya sektor hukum dibidang itu ditelaah ulang, agar
tetap up to date, seirama dengan perkembangan masa. Jika yang mengatur
perbankan dikenal adanya hukum perbankan, atau yang mengatur tentang kredit
dikenal dengan hukum perkreditan, maka sudah seyogyanya tentang
pembiayaan (finance) dikenal cabang hukum bisnis yang namanya hukum pembiayaan.
3.
Sumber – Sumber Hukum
Sumber
Hukum adalah
sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat
memaksa, yaitu apabila dilanggar akan mengakibatkan timbulnya sanksi yang tegas
dan nyata. Sumber hukum
dilihat dari dua segi, diantaranya segi material dan segi formal.
Sumber hukum material adalah segala
kaidah, aturan, atau norma yang menjadi patokan atau sumber dari manusia untuk
bersikap dan bertindak. Atau sumber hukum materi yaitu tempat dari manakah
material itu diambil. Suatu keyakinan atau perasaan hukum dari individu dan
juga pendapat umum yang dapat menentukan isi hukum. Dengan begitu, keyakinan
atau perasaan hukum individu dan pendapat umum merupakan faktor yang dapat
mempengaruhi pembentukan hukum.
Hukum formal adalah dapat disebut
juga sebagai penerapan dari hukum material, sehingga hukum formal dapat
berjalan serta ditaati oleh semua objek hukum. Berikut ini merupakan macam-macam
atau sumber-sumber dari hukum formal yaitu Undang-undang, kebiasaan, Yurisprudensi,
Traktat, dan doktrin hukum.
Analisis :
Dari
penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa hukum lembaga pembiayaan termasuk ke
dalam hukum material yang menjadi patokan atau sumber bagi lembaga pembiayaan
dalam tata cara pelaksanaan kegiatannya dan juga termasuk hukum formal dalam
bentuk undang – undang, karena peraturan tersebut memiliki kekuatan hukum yang
mengikat dan dipelihara oleh penguasa Negara atau pemerintah.
Hukum
tentang lembaga pembiayaan pertama kali diatur dalam Keppres No.61 tahun 1988.
Kemudian selanjutnya ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Keuangan No.
1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga
Pembiayaan, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan
No. 468/KMK. 017/1995. Selain peraturan- peraturan tersebut, masih terdapat
beberapa peraturan lainnya yang masih berlaku dalam rangka lebih meningkatkan
pengembangan lembaga pembiayaan. Adapun peraturan-peraturan yang dimaksud
adalah :
1. Surat
Keputusan Menteri Keuangan No. 448/KMK.017/2000 tanggal 27 Oktober 2000 tentang
Perusahaan Pembiayaan. Peraturan ini merupakan dasar bagi pengembangan
Perusahaan Pembiayaan.
2. Surat
Keputusan Bersama Menteri Keuangan No. 607/KMK.017/1995 dan Gubernur Bank
Indonesia No.28/9/KEP/GBI tanggal 19 Desember 1995 tentang pelaksanaan
Pengawasan Perusahaan Pembiayaan.
3. Keputusan
Menteri Keuangan No. 634/KMK.013/1990 tanggal 5 Juli 1990 tentang Penyediaan
Barang Modal Berfasilitas melalui Perusahaan Sewa Guna Usaha. Ketentuan ini
dalam rangka mendukung pengembangan investasi dan ekspor non migas.
4. Surat
Keputusan Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/1991 tanggal 27 Nopember 1991, yang
mana dalam keputusan ini diatur pula tentang Ketentuan Perpajakan Sewa Guna
Usaha.
5. Surat
Edaran Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan No. SE.1087/LK/1996 tanggal 27
Pebruari 1996 tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Sanksi Bagi Perusahaan
Pembiayaan.
4.
Peraturan Perundangan Negara Republik
Indonesia
1.
Masa Sebelum Dekrit Presiden 5 Juli
1959
Berdasarkan atau
bersumber pada UU Sementara 1959 dan Konstitusi RIS 1949, peraturan perundangan
di Indonesia terdiri dari :
a. UUD
b. UU dan UU Darurat
c. Peraturan Pemerintah tingkat Pusat
d. Peraturan Pemerintah tingkat Daerah
2.
Masa setelah Dekrit Presiden 5 Juli
1959
Bentuk dan tata urutan peraturan perundangan
Untuk mengatur masyarakat, Pemerintah mengeluarkan aturan negara yang biasnaya
disebut peraturan perundangan. Peraturan yang dikeluarkan Pemerintah harus
berdasar/melaksanakan UUD 1945.
Bentuk dan tata urutan peraturan perundangan menurut Ketetapan MPRS
No.XX/MPRS/1966 (dikuatkan Ketetapan MPR. No
V/MPR/1973) adalah
sebagai berikut :
a) UUD 1945
b) Ketetapan MPR
c) UU dan Peraturan pemerintah sebagai pengganti UU (PERPU)
d) Peraturan Pemerintah (PP)
e) Keputusan Presiden (KEPPRES)
f) Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya
Analisis :
Dalam
perkembangannya dewasa ini keberadaan lembaga perbankan tidak mencukupi
kebutuhan akan dana yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Oleh karena itu
diperlukan adanya alternatif pembiayaan lainnya selain bank. Adanya alternatif
pembiayaan lainnya dimaksud dibutuhkan mengingat akses untuk mendapatkan dana
dari bank sangat terbatas. Mengantisipasi hal tersebut, maka pemerintah pada
tahun 1988 melalui Keppres Nomor 61 Tahun 1988 membuka peluang bagi berbagai
badan usaha untuk melakukan kegiatan-kegiatan pembiayaan sebagai alternatif
lain untuk menyediakan dana guna menunjang pertumbuhan perekonomian Indonesia.
Kegiatan-kegiatan
pembiayaan tersebut dilakukan oleh suatu lembaga yang namanya lembaga
pembiayaan. Melalui lembaga pembiayaan dimaksud para pelaku bisnis bisa
mendapatkan dana atau modal yang dibutuhkan. Keberadaan lembaga pembiayaan ini
sangat penting, karena fungsinya hampir mirip dengan bank. Dalam prakteknya
sekarang ini lembaga pembiayaan banyak dimanfaatkan oleh pelaku bisnis ketika
membutuhkan dana atau barang modal untuk kepentingan perusahaan. Sejalan
dengan itu pemerintah sejak tahun 1988 pemerintah telah menempuh berbagai
kebijakan untuk lebih memperkuat sistem lembaga keuangan nasional melalui
pengembangan dan perluasan berbagai jenis lembaga keuangan, diantaranya lembaga
pembiayaan, dengan tujuan memperluas penyediaan pembiayaan alternatif
bagi dunia bisnis/usaha sejalan dengan semakin meningkatnya kebutuhan dana
untuk menunjang kegiatan usaha.
Dengan
dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988, diaturlah ketentuan
tentang lembaga pembiayaan, yang kemudian ditindaklanjuti oleh Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara
Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 468/KMK. 017/1995. Dalam pasal 1 angka 2
Keppres No. 61 Tahun 1988 tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan lembaga pembiayaan adalah badan usaha yang
melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal
dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat.
Dilihat
dari pengaturan, perizinan, pembinaan, dan pengawasannya, dalam lembaga
pembiayaan dilakukan oleh Departemen Keuangan. Adapun untuk lembaga perbankan
dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor. 10 Tahun 1998, maka wewenang dalam
hal pengaturan dan perizinan sepenuhnya berada pada Bank Indonesia. Selanjutnya
dengan diundangkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 1999, maka fungsi pengawasan
perbankan yang sebelumnya berada dalam kewenangan Bank Indonesia akan dialihkan
kepada suatu lembaga khusus untuk itu, yaitu Lembaga Pengawas Jasa Keuangan.
Lembaga perbankan itu sendiri termasuk lembaga keuangan. Sementara lembaga
keuangan itu terdiri dari lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan non bank,
seperti, pasar modal, asuransi, dana pensiun, dan sebagainya. Kemudian sejak
berlakunya Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan,
maka pengawasan atas lembaga pembiayaan di Indonesia beralih menjadi tanggung
jawab Otoritas Jasa Keuangan.
Dari
tahun 2010 sampai dengan tahun 2014, tercatat sebanyak 27 izin usaha baru
Perusahaan Pembiayaan yang telah ditetapkan dan 24 izin usaha Perusahaan
Pembiayaan yang telah dicabut. Grafik 02 berikut ini memperlihatkan pertumbuhan
jumlah Perusahaan Pembiayaan selama lima tahun terakhir.
Sepanjang
tahun 2014, terdapat tiga penerbitan izin usaha baru dan empat pencabutan izin
usaha Perusahaan Pembiayaan. Dengan demikian, jumlah Perusahaan Pembiayaan
sampai dengan akhir tahun 2014 menjadi 201 perusahaan.
Dari
jumlah 201 Perusahaan Pembiayaan tersebut, terdapat 72 perusahaan yang memiliki
aset di atas Rp1 triliun dan mendominasi 92,22% dari aset seluruh Perusahaan
Pembiayaan. Hal ini dapat dilihat pada Grafik 03 dan Grafik 04 yang
memperlihatkan jumlah Perusahaan Pembiayaan berdasarkan kategori besaran aset
dan sebaran aset.
5.
Kodifikasi Hukum
Menurut
bentuknya, Hukum itu dibedakan antara :
1. Hukum
Tertulis, yakni hukum yang dicantumkan dalam berbagai peraturan – peraturan.
2. Hukum
Tak Tertulis, yaitu hukum yang masih hidup dalam keyakinan masyarakat, tetapi
tidak tertulis namun berlakunya ditaati seperti suatu peraturan – peraturan
(disebut juga hukum kebiasaan).
Mengenai
hukum tertulis, ada yang dikodifikasikan dan yang belum dikodifikasikan.
Kodifikasi
Hukum adalah pembukuan jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab undang-undang
secara sistematis dan lengkap.
·
Unsur-unsur
dari suatu kodifikasi:
a.
Jenis-jenis
hukum tertentu
b.
Sistematis
c.
Lengkap
·
Tujuan
Kodifikasi Hukum tertulis untuk memperoleh:
a.
Kepastian
hukum
b.
Penyederhanaan
hukum
c.
Kesatuan
hukum
Analisis :
Dari
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa hukum tentang lembaga pembiayaan
termasuk ke dalam hukum tertulis yang sudah dikodifikasikan, karena sudah
termasuk dalam kitab undang – undang yang disusun secara sistematis dan lengkap
dan dicantumkan dalam berbagai peraturan seperti dalam Keputusan Presiden No.
61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan; Keputusan Menteri Keuangan No.
1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata cara Pelaksanaan Lembaga
Pembiayaan; dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009
Tentang Lembaga Pembiayaan. Berikut merupakan beberapa peraturan yang diatur
dalam hukum lembaga pembiayaan yaitu tentang Jenis Lembaga Pembiayaan; Bentuk
Badan Usaha; Kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan; Tata Cara Pendirian
Perusahaan Pembiayaan; Kepemilikan dan Kepengurusan Perusahaan Pembiayaan;
Perizinan; dan Pembatasan kegiatan perusahaan pembiayaan.
6.
12 Macam – Macam Pembagian Hukum
1.
Pembagian Hukum Menurut Asas
Pembagiannya
Walaupun
hukum itu terlalu luas sekali sehingga orang tak dapat membuat definisi singkat
yang meliputi segala – galanya, namum dapat juga hukum itu dibagi dalam
beberapa golongan hukum menurut beberapa asas pembagian, sebagai berikut :
1.
Menurut sumbernya :
· Hukum
undang-undang, yaitu hukum yang tercantum dalam peraturan perundangan.
· Hukum
adat, yaitu hukum yang terletak dalam peraturan-peraturan kebiasaan.
· Hukum
traktat, yaitu hukum yang ditetapkan oleh Negara-negara suatu dalam perjanjian
Negara.
· Hukum
jurisprudensi, yaitu hukum yang terbentuk karena putusan hakim.
· Hukum
doktrin, yaitu hukum yang terbentuk dari pendapat seseorang atau beberapa orang
sarjana hukum yang terkenal dalam ilmu pengetahuan hukum.
Analisis :
Dari
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa jika dilihat dari sumber hukum, maka
hukum lembaga pembiayaan termasuk kedalam hukum undang – undang. karena hukum
tersebut dicantumkan dalam berbagai peraturan seperti dalam Keputusan Presiden
No. 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan; Keputusan Menteri Keuangan No.
1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata cara Pelaksanaan Lembaga
Pembiayaan; dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009
Tentang Lembaga Pembiayaan.
2.
Menurut bentuknya :
· Hukum
tertulis, yaitu hukum yang dicantumkan pada berbagai perundangan.
· Hukum
tidak tertulis (hukum kebiasaan), yaitu hukum yang masih hidup dalam keyakinan
masyarakat, tapi tidak tertulis, namun berlakunya ditaati seperti suatu
peraturan perundangan.
Analisis :
Dari
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa jika dilihat dari bentuknya, maka
hukum lembaga pembiayaan termasuk kedalam hukum tertulis. karena hukum tersebut
dicantumkan dalam berbagai peraturan seperti dalam Keputusan Presiden No. 61
Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan; Keputusan Menteri Keuangan No.
1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata cara Pelaksanaan Lembaga
Pembiayaan; dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009
Tentang Lembaga Pembiayaan.
3.
Menurut tempat berlakunya :
· Hukum
nasional, yaitu hukum yang berlaku dalam suatu Negara.
· Hukum
internasional, yaitu yang mengatur hubungan hubungan hukum dalam dunia
internasional.
Analisis :
Dari
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa jika dilihat dari tempat berlakunya,
maka Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 termasuk kedalam
hukum nasional, karena hukum tersebut berlaku di Indonesia.
4.
Menurut waktu berlakunya :
· Ius
constitutum (hukum positif), yaitu hukum yang berlaku sekarang bagi suatu
masyarakat tertentu dalam suatu daerah tertentu.
·
Ius
constituendum, yaitu hukum yang diharapkan berlaku pada masa yang akan datang.
· Hukum
asasi (hukum alam), yaitu hukum yang berlaku dimana-mana dalam segala waktu dan
untuk segala bangsa di dunia.
Analisis :
Dari
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa jika dilihat dari waktu berlakunya,
maka Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 termasuk kedalam
hukum Ius Constitutum (hukum positif), karena hukum tersebut berlaku sekarang
bagi lembaga pembiayaan khususnya bagi perusahaan pembiayaan yang melakukan
kegiatan - kegiatan pembiayaan untuk menyediakan dana guna menunjang
pertumbuhan perekonomian Indonesia.
5.
Menurut cara mempertahankannya :
· Hukum
material, yaitu hukum yang memuat peraturan yang mengatur kepentingan dan
hubungan yang berwujud perintah-perintah dan larangan.
· Hukum
formal, yaitu hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana
cara-caranya mengajukan sesuatu perkara ke muka pengadilan dan bagaimana cara-caranya
hakim memberi putusan.
Analisis :
Dari
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa jika dilihat dari cara
mempertahankannya, maka Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun
2009 termasuk kedalam hukum material, Karena di dalam peraturan tersebut memuat
peraturan yang mengatur kepentingan dan hubungan yang berwujud perintah - perintah
dan larangan dalam tata cara pelaksanaan kegiatan lembaga pembiayaan.
6.
Menurut sifatnya :
· Hukum
yang memaksa, yaitu hukum yang dalam keadaan bagaimanapun mempunyai paksaan
mutlak.
· Hukum
yang mengatur, yaitu hukum yang dapat dikesampingkan apabila pihak-pihak yang
bersangkutan telah membuat peraturan sendiri.
Analisis :
Dari
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa jika dilihat dari sifatnya, maka Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 termasuk kedalam hukum yang
memaksa, karena dalam tata cara pelaksanaan, lembaga pembiayaan harus tunduk
terhadap hukum yang telah ditetapkan dan apabila ada pihak yang dengan sengaja
melanggar kaidah hukum yang telah ditetapkan maka akan dikenakan sanksi tegas
berupa hukuman.
7.
Menurut wujudnya :
· Hukum
obyektif, yaitu hukum dalam suatu Negara berlaku umum.
· Hukum
subyektif, yaitu hukum yang timbul dari hukum obyektif dan berlaku pada orang
tertentu atau lebih. Disebut juga hak.
Analisis :
Dari
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa jika dilihat dari wujudnya, maka Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 termasuk kedalam hukum
subyektif, karena Peraturan tersebut hanya berlaku bagi pihak – pihak yang
melakukan kegiatan dalam lembaga pembiayaan.
8.
Menurut isinya :
· Hukum
privat, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara orang yang satu dengan yang
lain dengan menitikberatkan pada kepentingan perseorangan.
· Hukum
publik, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara Negara dengan alat
kelengkapannya ata hubungan antara Negara dengan warganegara.
Analisis :
Dari penjelasan di
atas dapat disimpulkan bahwa jika dilihat dari isinya, maka Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 termasuk kedalam hukum publik, karena
mengatur hubungan antara Negara dengan lembaga pembiayaan.
2. Perbedaan Hukum Perdata (Sipil) dengan
Hukum Pidana
a. Hukum Perdata mengatur hubungan-hukum antara
orang yang satu dengan orang yang lain dengan menitik beratkan kepada
kepentingan perseorangan
b. Hukum
Pidana mengatur hubungan-hukum antara seorang anggota masyarakat (warganegara)
dengan negara yang menguasai tata tertib masyarakat itu.
Analisis :
Dari penjelasan diatas
dapat disimpulkan bahwa Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 termasuk ke dalam hukum pidana, karena
hukum pidana tersebut mengatur hubungan antara Negara dengan lembaga
pembiayaan.
Banyak
yang sependapat, bahwa penyebab timbulnya prilaku penyimpangan dan perbuatan-perbuatan
melawan hukum lembaga pembiayaan adalah kurangnya pengawasan oleh Menteri
Keuangan, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga
Perlindungan Konsumen. Kenapa demikian ?, karena lembaga pembiayaan
(finance) adalah termasuk lembaga pembiayaan non bank, sistem, prosedur dan
pelaksanaannya mengacu pada perundang-undangan dan peraturan pemerintah.
Kurangnya pengawasan dan tidak adanya ketegasan lembaga tersebut membuat
integritas perlindungan hukum terhadap konsumen menjadi abstrak. Akibatnya
masyarakat sebagai konsumen mengalami kerugian materiil dan imateriil.
Berikut
penyimpangan dan perbuatan-perbuatan melawan hukum lembaga pembiayaan :
1. Kontrak
penjanjian ditandatangani tidak dihadapan notaris (tidak ada akta notaris),
berarti bahwa kekuatan pembuktian perjanjian “dibawah tangan” dikategorikan
tidak memiliki “kekuatan hukum”. Dasar Hukum, Pasal 1320 KUH Perdata, bahwa
salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya “syarat objektif”, salah satu
unsur objektif adalah perjanjian yang dibuat harus mempunyai “kekuatan
hukum”. Jika syarat objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian yang dibuat
“batal demi hukum”. Artinya bahwa dimata hukum perjanjian itu dianggap tidak
ada, dan tidak ada hak/kewajiban pihak manapun untuk melakukan pemenuhan
perjanjian. UU No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, disebutkan bahwa
didalam proses pembuatan satu akta harus: “dihadiri oleh para penghadap,
dihadiri oleh paling sedikit sua saksi, dibacakan saat itu juga oleh notaris
didepan para penghadap dan saksi, ditandatangani saat itu juga oleh notaris dan
kedua penghadap serta kedua saksi tersebut, dan masing-masing pihak diberikan
salinan akta tersebut”.
2. Didalam
kontrak penjanjian antara finance dengan konsumen disebutkan bahwa perjanjian
tersebut dibuat dengan “Penyerahan Hak Milik Secara FIDUSIA”, tetapi perjanjian
FIDUSIA tersebut tidak didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia untuk
mendapatkan “SERTIFIKAT FIDUSIA”. Dasar Hukum, UU No.42 tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia dan Peraturan Pemerintah No. 86 tahun 2000 tentang Tata
Cara Pendaftaran Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia, disebutkan
salah satu Syarat Pendaftaran Fidusia adalah adanya salinan “Akta Notaril”.
Sedangkan kontrak perjanjian yang dibuat “dibawah tangan”, sehingga tidak
memiliki akta notaril, maka tidak bisa dibuatkan Sertifikat
Fidusia.
3. Didalam
kontrak penjanjian antara finance dengan konsumen dicantumkan “Klausula Baku”
yang sudah dibuat dan disiapkan terlebih dahulu secara sepihak. Didalam
klausula baku tersebut dinyatakan bahwa konsumen memberikan kuasa kepada
finance untuk melakukan segala tindakan terkait objek jaminan fidusia tersebut.
Dengan dalih berdasarkan kuasa dari konsumen dalam klausula baku yang
dicantumkan didalam perjanjian dibawah tangan, pihak finance membuat akta
notaril dan sertifikat fidusia secara sepihak, sehingga konsumen tidak memegang
salinan akta notaril dan sertifikat fidusia, karena konsumen tidak turut serta
menghadap notaris, melainkan dikuasakan kepada pihak finance.
Dasar hukum, UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 18 ayat 1,
disebutkan : “Pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa yang ditujukan
untuk diperdagangkan dilarang mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen
atau perjanjian apabila menyatakan pemberian kuasa konsumen kepada pihak pelaku
usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala
tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli konsumen secara
angsuran. Dan menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk
pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang
dibeli konsumen secara angsuran”. Sanksi pelanggaran di atur dalam Pasal 62 UU
No. 8 tahun 1999 yaitu, “Pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana
denda paling banyak 2 milyar rupiah”.
4. Jaminan
fidusia yang tidak dibuatkan sertifikat fidusia atau dibuatkan sertifikat
fidusia tetapi dibuat secara sepihak, maka objek jaminan fidusia tersebut
“Tidak Mempunyai Hak Eksekusi Langsung (Parate Eksekusi)”. Jadi ketika konsumen
dinyatakan “wan prestasi”, maka pihak finance tidak bisa melakukan eksekusi
terhadap objek jaminan fidusia tersebut. Fakta dilapangan pihak finance
justru melakukan eksekusi sepihak tanpa melalui instansi pemerintahan terkait
dan berdasarkan aturan perundang-undangan yang berlaku. Terlebih pihak finance
memakai jasa debt collector untuk melakukan eksekusi.
Bahkan dalam konsep hukum pidana, eksekusi objek jaminan fidusia yang dilakukan
dibawah tangan melalui debt collector dengan cara melakukan intimidasi,
menakut-nakuti, serta melakukan pemaksaan dan ancaman perampasan, sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 368 KUHPidana : “ barang siapa dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain, secara melawan hukum memaksa
seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk menyerahkan atau
memberikan sesuatu barang, yang sepenuhnya atau sebagian adalah milik orang itu
atau orang lain, untuk supaya membuat hutang meupun menghapuskan piutang,
diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan”.
Penyimpangan
dan perbuatan-perbuatan melawan hukum tersebut diatas adalah bentuk nyata
pelanggaran lembaga pembiayaan/finance . Jika lembaga pemerintah terkait masih
lemah dalam pengawasan dan tidak tegas mengambil sikap dengan memberikan sanki,
maka lagi-lagi masyarakat atau konsumen menjadi pihak yang selalu menjadi
korban. Apabila pembiaran terjadi, maka stigma berikutnya akan membentukan
persepsi negative handling objection atau keberatan-keberatan yang akan
diajukan oleh masyarakat sebagai penanggung akibat melalui visualisasi bahkan
direalisasikan dengan berbagai bentuk versi, menimbulkan akibat hukum yang
komplek dan beresiko tinggi.
Referensi :
Neltje F. Katuuk, 1994,
Diktat Kuliah Aspek Hukum dalam Bisnis, Universitas Gunadarma, Jakarta.
Neni
Sri Imaniyati, Hukum Bisnis Telaah Tentang Pelaku dan
Kegiatan Ekonomi, Yogyakarta: Grafika Ilmu, 2009, hlm. 69
Abdul
Kadir Muhamad, Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2004, hlm. 8
Dahlan
Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, Edisi Kedua, Jakarta: Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, 2001, hlm. 281