Sabtu, 23 April 2016

Lembaga Pembiayaan : Pergulatan Melawan Kemiskinan & Penetrasi Ekonomi Global



Manusia dalam mempertahankan hidupnya melakukan berbagai macam cara, salah satunya adalah melakukan kegiatan atau aktivitas bisnis. Melalui kegiatan itu manusia dapat memenuhi tuntutan hidupnya yang semakin hari semakin komplek. Kehidupan manusia di zaman modern ini begitu cepat berputar. Setiap hari manusia bekerja demi mempertahankan hidupnya. Kehidupan yang serba cepat memacu manusia untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara cepat pula. Pemenuhan kebutuhan hidup secara cepat telah mendorong dan membuka peluang bagi manusia untuk melakukan kegiatan bisnis. Aktivitas bisnis itu sendiri diwarnai oleh berbagai bentuk hubungan bisnis atau kerjasama bisnis yang melibatkan para pelaku bisnis. Hubungan bisnis atau kerjasama bisnis yang terjadi sangat beraneka ragam tergantung pada bidang bisnis apa yang sedang dijalankan. Dengan semakin berkembangnya aktivitas bisnis sekarang ini maka keperluan akan modal atau dana bagi pelaku usaha juga semakin meningkat. Oleh karena itu, sarana penyediaan dana yang dibutuhkan oleh pelaku usaha atau masyarakat perlu diperluas. Umumnya dana yang dibutuhkan tersebut dapat disediakan oleh lembaga perbankan melalui fasilitas kredit. Namun, fasilitas kredit dari perbankan sangat terbatas dan tidak semua pelaku usaha punya akses untuk mendapatkan bantuan pendanaan dari bank. Selain itu lembaga perbankan ini juga memerlukan jaminan yang kadang kala tidak bisa dipenuhi oleh pelaku usaha yang bersangkutan, maka perlu suatu upaya lain yaitu tanpa jaminan dan lebih mudah prosesnya. Upaya lain tersebut dapat dilakukan melalui suatu jenis badan usaha yaitu melalui Lembaga Pembiayaan. Munculnya lembaga pembiayaan ini turut memacu roda perekonomian masyarakat dan turut membawa andil yang besar dalam pembangunan ekonomi masyarakat khususnya masyarakat kecil. Namun sayangnya pertumbuhan institusi perekonomian tersebut tidak ditopang oleh pembangunan hukum yang memadai, sehingga Pemerintah diharapkan selalu memberi bimbingan dan pengarahan terhadap masyarakat tentang perekonomian, yaitu menyempurnakan Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 dengan peraturan yang baru yaitu Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan, Sehingga dengan adanya Peraturan Presiden yang baru dapat memberikan kontribusi yang baik dan pembangunan hukum yang memadai dengan meningkatkan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat akan kebutuhan dana.

BAB 1. Pengertian Dan Tujuan Hukum

1.  Pengertian Hukum

1.1   Apakah Sebenarnya Hukum Itu ?

Hukum merupakan sebuah sistem yang diciptakan oleh manusia dalam membatasi setiap tingkah laku atau kegiatan manusia, agar tingkah laku tersebut tidak merugikan orang lain. Dengan adanya hukum, setiap orang tentu tidak bisa sewenang - wenang terhadap sebuah aturan maupun orang lain. Dalam kehidupan bermasyarakat atau berkelompok memiliki aturan tertentu, agar tercipta keamanan dan kenyamanan dalam berkehidupan. Setiap masyarakat tentu memiliki hak untuk mendapatkan pembelaan di mata hukum. Tujuan hukum memiliki sifat yang universal, seperti mencakup kebahagiaan, kesejahteraan, kedamaian dan ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat.

1.2   Hukum Menurut Pendapat Para Sarjana

Pengertian Hukum menurut pandangan beberapa ahli hukum ialah sebagai berikut :
Pengertian Hukum menurut E. Utrecht adalah himpunan petunjuk hidup yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan seharusnya di taati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karenanya pelanggaran terhadap petunjuk hidup itu dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah masyarakat itu.

Menurut A. Ridwan Halim, Pengertian Hukum merupakan peraturan yang tertulis maupun yang tidak tertulis, yang pada dasarnya peraturan tersebut berlaku dan diakui orang sebagai peraturan yang harus ditaati dalam hidup bermasyarakat.

Dari pendapat para sarjana diatas dapat disimpulkan bahwa, pengertian hukum adalah seperangkat norma atau kaidah yang berfungsi mengatur tingkah laku manusia dengan tujuan untuk ketentraman dan kedamaian di dalam masyarakat.

1.3              Definisi Hukum Sebagai Pegangan

Drs. E. Utrecht, SH dalam bukunya yang berjudul "Pengantar Dalam Hukum Indonesia" (1953) telah mencoba membuat suatu batasan, yang maksudnya sebagai pegangan bagi orang yang sedang mempelajari Ilmu Hukum.

Hanya diingatkan, bahwa definisi yang diberikan Drs. E. Utrecht, SH itu merupakan pegangan semata yang maksudnya menjadi satu pedoman bagi setiap wisatawan hukum yang sedang bertamasya di alam hukum.

Utrecht memberikan batasan hukum sebagai berikut :"Hukum itu adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah - perintah dan larnangan - larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh
masyarakat itu".

Selain Utrecht juga beberapa Sarjana Hukum Indonesia lainnya telah berusaha  merumuskan tentang apakah Hukum itu, yang diantaranya ialah :
a.        S.M. Amin
Hukum adalah sekumpulan peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi. Hukum bertujuan untuk memperadakan ketertiban dalam pergaulan individu agar ketertiban dan keamanan terpelihara dengan baik.

b.        J.C.T. Simorangkir
Hukum adalah sebuah aturan yang memiliki sifat memaksa dan selalu menentukan perilaku manusia di lingkungan masyarakat dan lingkungan yang dibuat oleh lembaga yang berwenang.

Analisis :
Menurut Abdulkadir Muhamad, yang dimaksud dengan lembaga keuangan (financial institution) adalah badan usaha yang mempunyai kekayaan dalam bentuk asset keuangan (financial assets). Kekayaan dalam bentuk aset keuangan ini digunakan untuk menjalankan usaha dibidang jasa keuangan, baik  penyediaan dana untuk membiayai usaha produktif dan kebutuhan konsumtif, maupun jasa keuangan bukan pembiayaan.

Lembaga pembiayaan termasuk bagian dari lembaga keuangan. Lembaga pembiayaan adalah badan usaha diluar bank dan termasuk dalam lembaga keuangan bukan bank yang khusus melakukan kegiatan dalam bidang usaha lembaga pembiayaan.

Berdasarkan penjelasan pengertian hukum diatas baik dilihat dari segi pengertian hukum itu sendiri, menurut para ahli, dan definisi hukum sebagai pegangan, apabila dikaitkan dengan Pengertian Hukum Pembiayaan, maka dapat disimpulkan bahwa hukum pembiayaan adalah hukum yang mengatur suatu kegiatan yang dilakukan dalam bentuk penyediaan dana bagi konsumen untuk pembelian barang yang pembayarannya dilakukan secara angsuran ataupun berkala oleh konsumen.

1.4   Unsur – unsur Hukum

Dari bebarapa perumusan tentang hukum yang diberikan para Sarjana Hukum Indonesia tersebut di atas, dapatlah diambil kesimpulan, bahwa Hukum itu meliputi beberapa unsur, yaitu :

a. Peraturan tentang tingkah laku atau perilaku manusia dalam pergaulan   masyarakat.
b. Peraturan itu diadakan oleh setiap badan-badan resmi yang berwajib.
c.   Peraturan itu memiliki sifat memaksa.
d.   Sanksi terhadap pelangggaran peraturan tersebut ialah tegasa.

Analisis :
Menurut keppres No.61 Tahun 1988 dijelaskan bahwa lembaga pembiayaan adalah badan usaha yang dilakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat.

Dari pengertian tersebut di atas terdapat beberapa unsur-unsur :
1. Badan usaha, yaitu perusahaan pembiayaan yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha lembaga pembiayaan.
2.   Kegiatan pembiayaan, yaitu melakukan kegiatan atau aktivitas dengan cara membiayai pada pihak-pihak atau sektor usaha yang membutuhkan.
3.  Penyediaan dana, yaitu perbuatan menyediakan dana untuk suatu keperluan.
4.     Barang modal, yaitu barang yang dipakai untuk menghasilkan sesuatu.
5.       Tidak menarik dana secara langsung.
6.        Masyarakat, Yaitu sejumlah orang yang hidup bersama di suatu tempat.

Selain itu juga Menurut Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Lembaga Pembiayaan, Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal. 


Dari bebarapa perumusan tentang hukum lembaga pembiayaan diatas dapat disimpulkan bahwa hukum lembaga pembiayaan meliputi beberapa unsur, yaitu peraturan yang mencakup tentang kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya; Peraturan yang mengatur tentang lembaga pembiayaan di Indonesia dibuat oleh setiap badan – badan resmi yang berwajib; Peraturan tersebut memiliki sifat memaksa; serta Memiliki sanksi tegas terhadap pihak – pihak yang melanggar peraturan tersebut.


1.5   Ciri – ciri Hukum

Untuk dapat mengenal hukum itu kita harus dapat mengenal ciri-ciri hukum yaitu:
a. Adanya perintah dan atau larangan.
b. Perintah dan atau larangan itu harus patuh ditaati setiap orang.

Barang siapa yang dengan sengaja melanggar sesuatu Kaidah Hukum akan dikenakan sanksi (sebagai akibat pelanggaran Kaidah Hukum) yang berupa hukuman.

Analisis :
Sudah sangat jelas di dalam hukum lembaga pembiayaan terdapat perintah dan atau larangan yang harus dipatuhi oleh pihak – pihak yang menjalankan perusahaan pembiayaan.

Salah satu peraturan yang tidak diperkenankan bagi suatu perusahaan pembiayaan adalah menarik dana secara langsung dari masyarakat dalam bentuk Giro; Deposito; Tabungan; dan Surat sanggup bayar (promissory notes), jika surat sanggup bayar tersebut hanya dipakai sebagai jaminan hutang ke pada bank yang menjadi kreditnya.

Maka dapat disimpulkan bahwa, apabila ada pihak yang dengan sengaja melanggar kaidah hukum yang telah ditetapkan maka akan dikenakan sanksi tegas berupa hukuman.

1.6   Sifat Dari Hukum

Agar tata tertib dalam masyarakat itu tetap terpelihara, maka haruslah kaidah-kaidah hukum itu ditaati. Akan tetapi tidaklah semua orang mau menaati kaidah-kaidah hukum itu; dan agar sesuatu peraturan hidup kemasyarakatan benar-benar dipatuhi dan ditaati sehingga menjadi Kaidah Hukum maka peraturan hidup kemasyarakatan itu mesti diperlengkapi dengan unsur memaksa.

Dengan demikian hukum ini memiliki sifat mengatur dan memaksa. Ia merupakan peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan yang dapat memaksa orang supaya mentaati tata tertib dalam masyarakat serta memberikan sanksi yang tegas berupa hukuman terhadap siapa yang tidak mau patuh mentaatinya.

Analisis :
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hukum lembaga pembiayaan memiliki sifat mengatur dan memaksa. Hukum tersebut merupakan peraturan-peraturan tentang ketentuan dan tata cara pelaksanaan lembaga pembiayaan di Indonesia yang dapat memaksa pihak – pihak yang menjalankan perusahaan pembiayaan agar mentaati tata tertib yang telah ditentukan serta memberikan sanksi tegas berupa hukuman terhadap siapa yang tidak mau patuh mentaatinya.

2.     Tujuan Hukum

Berkenaan dengan tujuan hukum, maka kita akan mengenal beberapa pendapat para ahli hukum tentang tujuan hukum yang diantaranya sebagai berikut :
Menurut Professor Lj. Van Apeldoorn, Tujuan Hukum adalah untuk mengatur tata tertib di dalam masyarakat dengan damai dan adil. Untuk kedamaian hukum, masyarakat yang adil harus diciptakan dengan mengadakan perimbangan antara kepentingan yang bertentangan satu dan lainnya. Menurut Van Apeldoorn, disamping tujuan tersebut, Tujuan hukum adalah mengatur pergaulan hidup manusia secara damai. Hukum menghendaki perdamaian. Perdamaian di antara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan hukum manusia tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda terhadap pihak yang merugikan.

Menurut Subekti, Tujuan Hukum adalah untuk melayani kehendak negara, yaitu mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan bagi rakyat. Dalam melayani tujuan negara, hukum memberikan keadilan dan ketertiban bagi masyarakatnya.

Analisis :
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam menyikapi perkembangan lembaga pembiayaan saat ini sudah tiba saatnya tersedia peraturan yang lebih memadai dan tidak hanya sekedar berbentuk Keppres dan Surat Keputusan Menteri. Sektor hukum diharapkan lebih berperan dalam mengantisipasi perkembangan dibidang ekonomi dan bisnis, termasuk perkembangan dalam bisnis lembaga pembiayaan, yang diharapkan disini adalah adanya peraturan hukum yang berbentuk undang-undang mengatur lembaga pembiayaan, guna lebih menjamin kepastian hukum. Tidak dapat dipungkiri bahwa hukum yang mengatur tentang lembaga pembiayaan atau hukum Lembaga Pembiayaan merupakan hal urgen harus ada dalam konteks perkembangan dibidang bisnis, yang nantinya diharapkan dapat mengatur aktivitas bisnis lembaga pembiayaan tersebut.

Perkembangan dibidang bisnis menuntut secara cepat agar bidang hukum juga dapat mengimbanginya, seperti dikemukakan oleh Munir Fuady bahwa perkembangan sektor hukum bisnis yang begitu cepat menyertai perkembangan dibidang bisnis, membawa konsekuensi terhadap perlunya sektor hukum dibidang itu ditelaah ulang, agar tetap up to date, seirama dengan perkembangan masa. Jika yang mengatur perbankan dikenal adanya hukum perbankan, atau yang mengatur tentang kredit dikenal dengan hukum perkreditan, maka sudah seyogyanya  tentang pembiayaan (finance) dikenal cabang hukum bisnis yang namanya hukum pembiayaan.

3.        Sumber – Sumber Hukum

Sumber Hukum adalah sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yaitu apabila dilanggar akan mengakibatkan timbulnya sanksi yang tegas dan nyata. Sumber hukum dilihat dari dua segi, diantaranya segi material dan segi formal.

Sumber hukum material adalah segala kaidah, aturan, atau norma yang menjadi patokan atau sumber dari manusia untuk bersikap dan bertindak. Atau sumber hukum materi yaitu tempat dari manakah material itu diambil. Suatu keyakinan atau perasaan hukum dari individu dan juga pendapat umum yang dapat menentukan isi hukum. Dengan begitu, keyakinan atau perasaan hukum individu dan pendapat umum merupakan faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan hukum.

Hukum formal adalah dapat disebut juga sebagai penerapan dari hukum material, sehingga hukum formal dapat berjalan serta ditaati oleh semua objek hukum. Berikut ini merupakan macam-macam atau sumber-sumber dari hukum formal yaitu Undang-undang, kebiasaan, Yurisprudensi, Traktat, dan doktrin hukum.

Analisis :
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa hukum lembaga pembiayaan termasuk ke dalam hukum material yang menjadi patokan atau sumber bagi lembaga pembiayaan dalam tata cara pelaksanaan kegiatannya dan juga termasuk hukum formal dalam bentuk undang – undang, karena peraturan tersebut memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan dipelihara oleh penguasa Negara atau pemerintah.

Hukum tentang lembaga pembiayaan pertama kali diatur dalam Keppres No.61 tahun 1988. Kemudian selanjutnya ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 468/KMK. 017/1995. Selain peraturan- peraturan tersebut, masih terdapat beberapa peraturan lainnya yang masih berlaku dalam rangka lebih meningkatkan pengembangan lembaga pembiayaan. Adapun peraturan-peraturan yang dimaksud adalah :
1.    Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 448/KMK.017/2000 tanggal 27 Oktober 2000 tentang Perusahaan Pembiayaan. Peraturan ini merupakan  dasar bagi pengembangan Perusahaan Pembiayaan.
2. Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan No. 607/KMK.017/1995 dan Gubernur Bank Indonesia No.28/9/KEP/GBI tanggal 19 Desember 1995 tentang pelaksanaan Pengawasan Perusahaan Pembiayaan.
3.     Keputusan Menteri Keuangan No. 634/KMK.013/1990 tanggal 5 Juli 1990 tentang Penyediaan Barang Modal Berfasilitas melalui Perusahaan Sewa Guna Usaha. Ketentuan ini dalam rangka mendukung  pengembangan investasi dan ekspor non migas.
4.   Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/1991 tanggal 27 Nopember 1991, yang mana dalam keputusan ini diatur pula tentang Ketentuan Perpajakan Sewa Guna Usaha.
5.  Surat Edaran Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan No. SE.1087/LK/1996 tanggal 27 Pebruari 1996 tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Sanksi Bagi Perusahaan Pembiayaan.

4.        Peraturan Perundangan Negara Republik Indonesia

1.        Masa Sebelum Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Berdasarkan atau bersumber pada UU Sementara 1959 dan Konstitusi RIS 1949, peraturan perundangan di Indonesia terdiri dari :
a. UUD
b. UU dan UU Darurat
c. Peraturan Pemerintah tingkat Pusat
d. Peraturan Pemerintah tingkat Daerah

2.        Masa setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Bentuk dan tata urutan peraturan perundangan
Untuk mengatur masyarakat, Pemerintah mengeluarkan aturan negara yang biasnaya disebut peraturan perundangan. Peraturan yang dikeluarkan Pemerintah harus berdasar/melaksanakan UUD 1945.

Bentuk dan tata urutan peraturan perundangan menurut Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966 (dikuatkan Ketetapan MPR. No.V/MPR/1973) adalah sebagai berikut :
a) UUD 1945
b) Ketetapan MPR
c) UU dan Peraturan pemerintah sebagai pengganti UU (PERPU)
d) Peraturan Pemerintah (PP)
e) Keputusan Presiden (KEPPRES)
f) Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya

Analisis :
Dalam perkembangannya dewasa ini keberadaan lembaga perbankan tidak mencukupi kebutuhan akan dana yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Oleh karena itu diperlukan adanya alternatif pembiayaan lainnya selain bank. Adanya alternatif pembiayaan lainnya dimaksud dibutuhkan mengingat akses untuk mendapatkan dana dari bank sangat terbatas. Mengantisipasi hal tersebut, maka pemerintah pada tahun 1988 melalui Keppres Nomor 61 Tahun 1988 membuka peluang bagi berbagai badan usaha untuk melakukan kegiatan-kegiatan pembiayaan sebagai alternatif lain untuk menyediakan dana guna menunjang pertumbuhan perekonomian Indonesia.

Kegiatan-kegiatan pembiayaan tersebut dilakukan oleh suatu lembaga  yang namanya lembaga pembiayaan. Melalui lembaga pembiayaan dimaksud para pelaku bisnis bisa mendapatkan dana atau modal yang dibutuhkan. Keberadaan lembaga pembiayaan ini sangat penting, karena fungsinya hampir mirip dengan bank. Dalam prakteknya sekarang ini lembaga pembiayaan banyak dimanfaatkan oleh pelaku bisnis ketika membutuhkan dana atau barang modal untuk  kepentingan perusahaan. Sejalan dengan itu pemerintah sejak tahun 1988 pemerintah telah menempuh berbagai kebijakan untuk lebih memperkuat sistem lembaga keuangan nasional melalui pengembangan dan perluasan berbagai jenis lembaga keuangan, diantaranya lembaga pembiayaan, dengan tujuan  memperluas penyediaan pembiayaan alternatif bagi dunia bisnis/usaha sejalan dengan semakin meningkatnya kebutuhan dana untuk menunjang kegiatan usaha.

Dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988, diaturlah ketentuan tentang lembaga pembiayaan, yang kemudian ditindaklanjuti oleh Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 468/KMK. 017/1995. Dalam pasal 1 angka 2 Keppres No. 61 Tahun 1988 tersebut disebutkan bahwa  yang  dimaksud  dengan  lembaga  pembiayaan  adalah  badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat.

Dilihat dari pengaturan, perizinan, pembinaan, dan pengawasannya, dalam lembaga pembiayaan dilakukan oleh Departemen Keuangan. Adapun untuk lembaga perbankan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor. 10 Tahun 1998, maka wewenang dalam hal pengaturan dan perizinan sepenuhnya berada pada Bank Indonesia. Selanjutnya dengan diundangkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 1999, maka fungsi pengawasan perbankan yang sebelumnya berada dalam kewenangan Bank Indonesia akan dialihkan kepada suatu lembaga khusus untuk itu, yaitu Lembaga Pengawas Jasa Keuangan. Lembaga perbankan itu sendiri termasuk lembaga keuangan. Sementara lembaga keuangan itu terdiri dari lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan non bank, seperti, pasar modal, asuransi, dana pensiun, dan sebagainya. Kemudian sejak berlakunya Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, maka pengawasan atas lembaga pembiayaan di Indonesia beralih menjadi tanggung jawab Otoritas Jasa Keuangan.

Dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2014, tercatat sebanyak 27 izin usaha baru Perusahaan Pembiayaan yang telah ditetapkan dan 24 izin usaha Perusahaan Pembiayaan yang telah dicabut. Grafik 02 berikut ini memperlihatkan pertumbuhan jumlah Perusahaan Pembiayaan selama lima tahun terakhir.


Sepanjang tahun 2014, terdapat tiga penerbitan izin usaha baru dan empat pencabutan izin usaha Perusahaan Pembiayaan. Dengan demikian, jumlah Perusahaan Pembiayaan sampai dengan akhir tahun 2014 menjadi 201 perusahaan.

Dari jumlah 201 Perusahaan Pembiayaan tersebut, terdapat 72 perusahaan yang memiliki aset di atas Rp1 triliun dan mendominasi 92,22% dari aset seluruh Perusahaan Pembiayaan. Hal ini dapat dilihat pada Grafik 03 dan Grafik 04 yang memperlihatkan jumlah Perusahaan Pembiayaan berdasarkan kategori besaran aset dan sebaran aset.





5.     Kodifikasi Hukum
Menurut bentuknya, Hukum itu dibedakan antara :
1.   Hukum Tertulis, yakni hukum yang dicantumkan dalam berbagai peraturan – peraturan.
2.   Hukum Tak Tertulis, yaitu hukum yang masih hidup dalam keyakinan masyarakat, tetapi tidak tertulis namun berlakunya ditaati seperti suatu peraturan – peraturan (disebut juga hukum kebiasaan).
Mengenai hukum tertulis, ada yang dikodifikasikan dan yang belum dikodifikasikan.

Kodifikasi Hukum adalah pembukuan jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab undang-undang secara sistematis dan lengkap.

·           Unsur-unsur dari suatu kodifikasi:
a.        Jenis-jenis hukum tertentu
b.        Sistematis
c.         Lengkap

·           Tujuan Kodifikasi Hukum tertulis untuk memperoleh:
a.        Kepastian hukum
b.        Penyederhanaan hukum
c.         Kesatuan hukum

Analisis :
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa hukum tentang lembaga pembiayaan termasuk ke dalam hukum tertulis yang sudah dikodifikasikan, karena sudah termasuk dalam kitab undang – undang yang disusun secara sistematis dan lengkap dan dicantumkan dalam berbagai peraturan seperti dalam Keputusan Presiden No. 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan; Keputusan Menteri Keuangan No. 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan; dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Lembaga Pembiayaan. Berikut merupakan beberapa peraturan yang diatur dalam hukum lembaga pembiayaan yaitu tentang Jenis Lembaga Pembiayaan; Bentuk Badan Usaha; Kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan; Tata Cara Pendirian Perusahaan Pembiayaan; Kepemilikan dan Kepengurusan Perusahaan Pembiayaan; Perizinan; dan Pembatasan kegiatan perusahaan  pembiayaan.

6.     12 Macam – Macam Pembagian Hukum

1.        Pembagian Hukum Menurut Asas Pembagiannya
Walaupun hukum itu terlalu luas sekali sehingga orang tak dapat membuat definisi singkat yang meliputi segala – galanya, namum dapat juga hukum itu dibagi dalam beberapa golongan hukum menurut beberapa asas pembagian, sebagai berikut :
1.        Menurut sumbernya :

·      Hukum undang-undang, yaitu hukum yang tercantum dalam peraturan perundangan.
·    Hukum adat, yaitu hukum yang terletak dalam peraturan-peraturan kebiasaan.
·      Hukum traktat, yaitu hukum yang ditetapkan oleh Negara-negara suatu dalam perjanjian Negara.
·    Hukum jurisprudensi, yaitu hukum yang terbentuk karena putusan hakim.
·     Hukum doktrin, yaitu hukum yang terbentuk dari pendapat seseorang atau beberapa orang sarjana hukum yang terkenal dalam ilmu pengetahuan hukum.


Analisis :
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa jika dilihat dari sumber hukum, maka hukum lembaga pembiayaan termasuk kedalam hukum undang – undang. karena hukum tersebut dicantumkan dalam berbagai peraturan seperti dalam Keputusan Presiden No. 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan; Keputusan Menteri Keuangan No. 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan; dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Lembaga Pembiayaan.

2.        Menurut bentuknya : 
·          Hukum tertulis, yaitu hukum yang dicantumkan pada berbagai perundangan. 
·      Hukum tidak tertulis (hukum kebiasaan), yaitu hukum yang masih hidup dalam keyakinan masyarakat, tapi tidak tertulis, namun berlakunya ditaati seperti suatu peraturan perundangan.

Analisis :
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa jika dilihat dari bentuknya, maka hukum lembaga pembiayaan termasuk kedalam hukum tertulis. karena hukum tersebut dicantumkan dalam berbagai peraturan seperti dalam Keputusan Presiden No. 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan; Keputusan Menteri Keuangan No. 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan; dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Lembaga Pembiayaan.

3.        Menurut tempat berlakunya :
·      Hukum nasional, yaitu hukum yang berlaku dalam suatu Negara.
·       Hukum internasional, yaitu yang mengatur hubungan hubungan hukum dalam dunia internasional.

Analisis :
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa jika dilihat dari tempat berlakunya, maka Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 termasuk kedalam hukum nasional, karena hukum tersebut berlaku di Indonesia.

4.        Menurut waktu berlakunya :
·     Ius constitutum (hukum positif), yaitu hukum yang berlaku sekarang bagi suatu masyarakat tertentu dalam suatu daerah tertentu.
·           Ius constituendum, yaitu hukum yang diharapkan berlaku pada masa yang akan datang.
·   Hukum asasi (hukum alam), yaitu hukum yang berlaku dimana-mana dalam segala waktu dan untuk segala bangsa di dunia.

Analisis :
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa jika dilihat dari waktu berlakunya, maka Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 termasuk kedalam hukum Ius Constitutum (hukum positif), karena hukum tersebut berlaku sekarang bagi lembaga pembiayaan khususnya bagi perusahaan pembiayaan yang melakukan kegiatan - kegiatan pembiayaan untuk menyediakan dana guna menunjang pertumbuhan perekonomian Indonesia.

5.        Menurut cara mempertahankannya :
·      Hukum material, yaitu hukum yang memuat peraturan yang mengatur kepentingan dan hubungan yang berwujud perintah-perintah dan larangan.
·       Hukum formal, yaitu hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana cara-caranya mengajukan sesuatu perkara ke muka pengadilan dan bagaimana cara-caranya hakim memberi putusan.

Analisis :
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa jika dilihat dari cara mempertahankannya, maka Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 termasuk kedalam hukum material, Karena di dalam peraturan tersebut memuat peraturan yang mengatur kepentingan dan hubungan yang berwujud perintah - perintah dan larangan dalam tata cara pelaksanaan kegiatan lembaga pembiayaan.


6.        Menurut sifatnya :
·    Hukum yang memaksa, yaitu hukum yang dalam keadaan bagaimanapun mempunyai paksaan mutlak.
·    Hukum yang mengatur, yaitu hukum yang dapat dikesampingkan apabila pihak-pihak yang bersangkutan telah membuat peraturan sendiri.


Analisis :
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa jika dilihat dari sifatnya, maka Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 termasuk kedalam hukum yang memaksa, karena dalam tata cara pelaksanaan, lembaga pembiayaan harus tunduk terhadap hukum yang telah ditetapkan dan apabila ada pihak yang dengan sengaja melanggar kaidah hukum yang telah ditetapkan maka akan dikenakan sanksi tegas berupa hukuman.

7.        Menurut wujudnya :
·    Hukum obyektif, yaitu hukum dalam suatu Negara berlaku umum.
·        Hukum subyektif, yaitu hukum yang timbul dari hukum obyektif dan berlaku pada orang tertentu atau lebih. Disebut juga hak.

Analisis :
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa jika dilihat dari wujudnya, maka Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 termasuk kedalam hukum subyektif, karena Peraturan tersebut hanya berlaku bagi pihak – pihak yang melakukan kegiatan dalam lembaga pembiayaan.

8.        Menurut isinya :
·      Hukum privat, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara orang yang satu dengan yang lain dengan menitikberatkan pada kepentingan perseorangan.
·       Hukum publik, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara Negara dengan alat kelengkapannya ata hubungan antara Negara dengan warganegara.

Analisis :
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa jika dilihat dari isinya, maka Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 termasuk kedalam hukum publik, karena mengatur hubungan antara Negara dengan lembaga pembiayaan.

2. Perbedaan Hukum Perdata (Sipil) dengan Hukum Pidana
a.   Hukum Perdata mengatur hubungan-hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain dengan menitik beratkan kepada kepentingan perseorangan
b. Hukum Pidana mengatur hubungan-hukum antara seorang anggota masyarakat (warganegara) dengan negara yang menguasai tata tertib masyarakat itu.

Analisis :
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 termasuk ke dalam hukum pidana, karena hukum pidana tersebut mengatur hubungan antara Negara dengan lembaga pembiayaan.

Banyak yang sependapat, bahwa penyebab timbulnya prilaku penyimpangan dan perbuatan-perbuatan melawan hukum lembaga pembiayaan adalah  kurangnya pengawasan oleh Menteri Keuangan, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Perlindungan Konsumen.  Kenapa demikian ?, karena lembaga pembiayaan (finance) adalah termasuk lembaga pembiayaan non bank, sistem, prosedur dan pelaksanaannya mengacu pada perundang-undangan dan peraturan pemerintah.

Kurangnya pengawasan dan tidak adanya ketegasan lembaga tersebut membuat integritas perlindungan hukum terhadap konsumen menjadi abstrak. Akibatnya masyarakat sebagai konsumen mengalami kerugian materiil dan imateriil.

Berikut penyimpangan dan perbuatan-perbuatan melawan hukum lembaga pembiayaan  :
1.      Kontrak penjanjian ditandatangani tidak dihadapan notaris (tidak ada akta notaris), berarti bahwa kekuatan pembuktian perjanjian “dibawah tangan” dikategorikan tidak memiliki “kekuatan hukum”. Dasar Hukum, Pasal 1320 KUH Perdata, bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya “syarat objektif”, salah satu unsur objektif adalah perjanjian yang dibuat harus mempunyai “kekuatan hukum”.  Jika syarat objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian yang dibuat “batal demi hukum”. Artinya bahwa dimata hukum perjanjian itu dianggap tidak ada, dan tidak ada hak/kewajiban pihak manapun untuk melakukan pemenuhan perjanjian. UU No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, disebutkan bahwa didalam proses pembuatan satu akta harus: “dihadiri oleh para penghadap, dihadiri oleh paling sedikit sua saksi, dibacakan saat itu juga oleh notaris didepan para penghadap dan saksi, ditandatangani saat itu juga oleh notaris dan kedua penghadap serta kedua saksi tersebut, dan masing-masing pihak diberikan salinan akta tersebut”.

2.   Didalam kontrak penjanjian antara finance dengan konsumen disebutkan bahwa perjanjian tersebut dibuat dengan “Penyerahan Hak Milik Secara FIDUSIA”, tetapi perjanjian FIDUSIA tersebut tidak didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia untuk mendapatkan “SERTIFIKAT FIDUSIA”. Dasar Hukum,  UU No.42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan Peraturan Pemerintah No. 86 tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia, disebutkan salah satu Syarat Pendaftaran Fidusia adalah adanya salinan “Akta Notaril”. Sedangkan kontrak perjanjian yang dibuat “dibawah tangan”, sehingga tidak memiliki akta notaril, maka tidak bisa dibuatkan Sertifikat Fidusia.  

3.  Didalam kontrak penjanjian antara finance dengan konsumen dicantumkan “Klausula Baku” yang sudah dibuat dan disiapkan terlebih dahulu secara sepihak. Didalam klausula baku tersebut dinyatakan bahwa konsumen memberikan kuasa kepada finance untuk melakukan segala tindakan terkait objek jaminan fidusia tersebut. Dengan dalih berdasarkan kuasa dari konsumen dalam klausula baku yang dicantumkan didalam perjanjian dibawah tangan, pihak finance membuat akta notaril dan sertifikat fidusia secara sepihak, sehingga konsumen tidak memegang salinan akta notaril dan sertifikat fidusia, karena konsumen tidak turut serta menghadap notaris, melainkan dikuasakan kepada pihak finance.

Dasar hukum, UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 18 ayat 1, disebutkan : “Pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen atau perjanjian apabila menyatakan pemberian kuasa konsumen kepada pihak pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli konsumen secara angsuran. Dan menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli konsumen secara angsuran”. Sanksi pelanggaran di atur dalam Pasal 62 UU No. 8 tahun 1999 yaitu, “Pidana penjara paling lama 5 tahun atau  pidana denda paling banyak 2 milyar rupiah”. 


4.    Jaminan fidusia yang tidak dibuatkan sertifikat fidusia atau dibuatkan sertifikat fidusia tetapi dibuat secara sepihak, maka objek jaminan fidusia tersebut “Tidak Mempunyai Hak Eksekusi Langsung (Parate Eksekusi)”. Jadi ketika konsumen dinyatakan “wan prestasi”, maka pihak finance tidak bisa melakukan eksekusi terhadap objek jaminan fidusia tersebut. Fakta dilapangan pihak finance  justru melakukan eksekusi sepihak tanpa melalui instansi pemerintahan terkait dan berdasarkan aturan perundang-undangan yang berlaku. Terlebih pihak finance memakai jasa debt collector  untuk melakukan eksekusi.

Bahkan dalam konsep hukum pidana, eksekusi objek jaminan fidusia yang dilakukan dibawah tangan melalui debt collector dengan cara melakukan intimidasi, menakut-nakuti, serta melakukan pemaksaan dan ancaman perampasan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 368 KUHPidana : “ barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, secara melawan hukum memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk menyerahkan atau memberikan sesuatu barang, yang sepenuhnya atau sebagian adalah milik orang itu atau orang lain, untuk supaya membuat hutang meupun menghapuskan piutang, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan”.  

Penyimpangan dan perbuatan-perbuatan melawan hukum tersebut diatas adalah bentuk nyata pelanggaran lembaga pembiayaan/finance . Jika lembaga pemerintah terkait masih lemah dalam pengawasan dan tidak tegas mengambil sikap dengan memberikan sanki, maka lagi-lagi masyarakat atau konsumen menjadi pihak yang selalu menjadi korban. Apabila pembiaran terjadi, maka stigma berikutnya akan membentukan persepsi negative handling objection atau keberatan-keberatan yang akan diajukan oleh masyarakat sebagai penanggung akibat melalui visualisasi bahkan direalisasikan dengan berbagai bentuk versi, menimbulkan akibat hukum yang komplek dan beresiko tinggi.




Referensi     :
Neltje F. Katuuk, 1994, Diktat Kuliah Aspek Hukum dalam Bisnis, Universitas Gunadarma, Jakarta.

Neni Sri  Imaniyati,  Hukum Bisnis Telaah  Tentang  Pelaku dan  Kegiatan   Ekonomi, Yogyakarta: Grafika Ilmu, 2009, hlm. 69

Abdul Kadir Muhamad, Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004, hlm. 8

Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, Edisi Kedua, Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2001, hlm. 281





Tidak ada komentar:

Posting Komentar