Sebagai
sebuah negara yang perekonomiannya terbuka, Indonesia tak luput dari imbas dinamika
pasar keuangan global. Termasuk pula imbas dari krisis keuangan yang berawal
dari Amerika Serikat, yang menerpa Negara - negara lainnya, dan kemudian meluas
menjadi krisis ekonomi secara global yang dirasakan sejak semester kedua tahun
2008. International Monetary Fund (IMF) memperkirakan terjadinya perlambatan
pertumbuhan ekonomi dunia dari 3,9 % pada 2008 menjadi 2,2 % pada tahun 2009. Perlambatan
ini tentu saja pada gilirannya akan mempengaruhi kinerja ekspor nasional, yang
pada akhirnya berdampak kepada laju pertumbuhan ekonomi nasional. Kemudian
bagaimana dampak guncangan sistem keuangan global ini terhadap industri
perbankan syariah di Indonesia?
Eskposure
pembiayaan perbankan syariah yang masih lebih diarahkan kepada aktivitas perekonomian
domestik, sehingga belum memiliki tingkat integrasi yang tinggi dengan sistem
keuangan global dan belum memiliki tingkat sofistikasi transaksi yang tinggi;
adalah dua faktor yang dinilai telah "menyelamatkan"
bank syariah dari dampak langsung guncangan sistem keuangan global. Terbukti,
selama 2 bulan pertama di tahun 2009 jaringan pelayanan bank syariah mengalami
penambahan sebanyak 45 jaringan kantor. Hingga saat ini sudah ada 1492 kantor
cabang bank konvensional yang memiliki layanan syariah. Secara geografis,
penyebaran jaringan kantor perbankan syariah saat ini telah menjangkau masyarakat
di lebih dari 89 kabupaten/kota di 33 provinsi.
Kinerja
pertumbuhan pembiayaan bank syariah tetap tinggi sampai posisi Februari 2009
dengan kinerja pembiayaan yang baik (NPF, Net Performing Financing di bawah
5%). Penyaluran pembiayaan oleh perbankan syariah per Februari 2009 secara
konsisten terus mengalami peningkatan dengan pertumbuhan sebesar 33,3% pada
Februari 2008 menjadi 47,3% pada Februari 2009. Sementara itu, nilai pembiayaan
yang disalurkan oleh perbankan syariah mencapai Rp.40,2 triliun.
Sekali
lagi industri perbankan syariah menunjukkan ketangguhannya sebagai salah satu
pilar penyokong stabilitas sistem keuangan nasional. Dengan kinerja pertumbuhan
industri yang mencapai rata - rata 46,32 % dalam lima tahun terakhir, iB (baca
ai-Bi, Islamic Bank) di Indonesia diperkirakan tetap akan mengalami
pertumbuhan yang cukup tinggi pada tahun 2009.
Dengan
positioning khas perbankan syariah sebagai “lebih dari sekadar bank” (beyond
banking), yaitu perbankan yang menyediakan produk dan jasa keuangan yang lebih
beragam serta didukung oleh skema keuangan yang lebih bervariasi, kita yakin
bahwa di masa - masa mendatang akan semakin tinggi minat masyarakat Indonesia
untuk menggunakan bank syariah. Dan pada gilirannya hal tersebut akan
meningkatkan signifikansi peran bank syariah dalam mendukung stabilitas sistem
keuangan nasional, bersama - sama secara sinergis dengan bank konvensional
dalam kerangka Dual Banking System (sistem
perbankan ganda) Arsitektur Perbankan Indonesia (API)
BAB 1. Pengertian Dan Tujuan Hukum
1. Pengertian Hukum
1.1 Apakah Sebenarnya
Hukum Itu ?
Hukum
merupakan sebuah sistem yang diciptakan oleh manusia dalam
membatasi setiap tingkah laku atau kegiatan manusia,
agar tingkah laku tersebut tidak merugikan orang lain. Dengan adanya hukum,
setiap orang tentu tidak bisa sewenang - wenang terhadap sebuah aturan maupun
orang lain. Dalam kehidupan bermasyarakat atau berkelompok memiliki aturan
tertentu, agar tercipta keamanan dan kenyamanan dalam berkehidupan. Setiap
masyarakat tentu memiliki hak untuk mendapatkan pembelaan di mata hukum. Tujuan
hukum memiliki sifat yang universal, seperti mencakup kebahagiaan,
kesejahteraan, kedamaian dan ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat.
Pengertian Hukum Perbankan syariah
Perbankan syariah atau
Perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan
syariah (hukum) islam. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan
dalam agama islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut
dengan riba serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram
(misal: usaha yang berkaitan dengan produksi makanan/minuman haram, usaha media
yang tidak islami dll), dimana hal ini tidak dapat dijamin oleh sistem
perbankan konvensional.
Pada UU no. 21 tahun 2008
tentang perbankan syariah disebutkan bahwa Bank Syariah adalah Bank yang
menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah.
Prinsip syariah adalah
aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk
penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang
sesuai dengan syariah. Prinsip tersebut
mengacu pada prinsip-prinsip hukum muamalah . Relevansinya sebagai
landasan untuk memahami berbagai transaksi yang dilarang dalam agama Islam
terkait dengan aktivitas ekonomi antar individu. Sistem perbankan syariah yang
dalam pelaksanaannya berlandaskan pada syariah (hukum) Islam, menonjolkan aspek
keadilan dan kejujuran dalam bertransaksi, investasi yang beretika,
mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan dalam berproduksi dan
menghindari kegiatan spekulatif dari berbagai transaksi keuangan. Lebih jauh
lagi, kemanfaatannya akan dinikmati tidak hanya oleh umat Islam saja, tetapi
dapat membawa kesejahteraan semua kalangan masyarakat
1.2 Hukum Menurut
Pendapat Para Sarjana
Pengertian Hukum menurut
padangan beberapa ahli hukum ialah sebagai berikut :
Pengertian Hukum menurut E. Utrecht adalah
himpunan petunjuk hidup yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan
seharusnya di taati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karenanya
pelanggaran terhadap petunjuk hidup itu dapat menimbulkan tindakan dari
pemerintah masyarakat itu.
Menurut A. Ridwan Halim, Pengertian
Hukum merupakan peraturan yang tertulis maupun yang tidak tertulis, yang
pada dasarnya peraturan tersebut berlaku dan diakui orang sebagai peraturan
yang harus ditaati dalam hidup bermasyarakat.
Sunaryati Hatono memberikan definisi mengenai Pengertian
Hukum yaitu hukum itu tidak menyangkut kehidupan pribadi seseorang, akan
tetapi jika menyangkut dan mengatur berbagai aktivitas manusia dalam
hubungannya dengan manusia lainnya, atau dengan kata lain hukum mengatur berbagai
aktivitas manusia di dalam hidup bermasyarakat.
Dari pendapat para sarjana diatas
dapat disimpulkan bahwa, pengertian hukum adalah seperangkat
norma atau kaidah yang berfungsi mengatur tingkah laku manusia dengan tujuan
untuk ketentraman dan kedamaian di dalam masyarakat.
Pengertian Bank Syariah Menurut Para Ahli
Pengertian Bank Syariah Menurut Sudarsono, Bank Syariah adalah
lembaga keuangan negara yang memberikan kredit dan jasa-jasa lainnya di dalam
lalu lintas pembayaran dan juga peredaran uang yang beroperasi dengan
menggunakan prinsip-prinsip syariah atau islam.
Menurut Perwataatmadja, Pengertian Bank Syariah ialah bank yang beroperasi
berdasarkan prinsip-prinsip syariah (islam) dan tata caranya didasarkan pada
ketentuan Al-quran dan Hadist.
Siamat Dahlan
mengemukakan Pengertian Bank Syariah, Bank Syariah merupakan bank yang
menjalankan usahanya berdasar prinsip-prinsip syariah yang didasarkan pada
alquran dan hadits.
Pengerian Bank Syariah menurut Schaik, Bank Syariah adalah suatu
bentuk dari bank modren yang didasarkan pada hukum islam, yang dikembangkan
pada abad pertenganhan islam dengan menggunakan konsep bagi resiko sebagai
sistem utama dan meniadakan sistem keuangan yang didasarkan pada kepastian dan
keuntungan yang telah ditentukan sebelumnya.
Dalam UU No.21 tahun 2008, bank syariah adalah bank yang menjalankan
kegiatan usahanya berdasar prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas
bank umum syariah dan bank pembiayaan rakyat syariah.
1.3 Definisi Hukum Sebagai Pegangan
Drs. E. Utrecht, SH dalam bukunya
yang berjudul "Pengantar Dalam Hukum Indonesia" (1953) telah mencoba
membuat suatu batasan, yang maksudnya sebagai pegangan bagi orang yang sedang
mempelajari Ilmu Hukum.
Hanya diingatkan, bahwa definisi yang
diberikan Drs. E. Utrecht, SH itu merupakan pegangan semata yang maksudnya menjadi
satu pedoman bagi setiap wisatawan hukum yang sedang bertamasya di alam hukum.
Utrecht memberikan batasan hukum
sebagai berikut :"Hukum itu adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah
- perintah dan larnangan - larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat
dan karena itu harus ditaati oleh
masyarakat itu".
Selain Utrecht juga beberapa Sarjana
Hukum Indonesia lainnya telah berusaha merumuskan
tentang apakah Hukum itu, yang diantaranya ialah :
a. S.M. Amin
Hukum adalah sekumpulan peraturan
yang terdiri dari norma dan sanksi. Hukum bertujuan untuk memperadakan
ketertiban dalam pergaulan individu agar ketertiban dan keamanan terpelihara
dengan baik.
b. J.C.T. Simorangkir
Hukum adalah sebuah aturan yang
memiliki sifat memaksa dan selalu menentukan perilaku manusia di lingkungan
masyarakat dan lingkungan yang dibuat oleh lembaga yang berwenang.
c. M.H Tirtaamidjaya, S.H
Dalam buku beliau "Pokok - pokok
Hukum Perniagaan" ditegaskan, bahwa "Hukum ialah semua aturan (norma)
yang harus diturut dalam tingkah lau tindakan - tindakan dalam pergaulan dengan
ancaman mesti mengganti kerugian, jika melanggar aturan - aturan itu, akan
membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang yang akan kehilangan
kemerdekaan, didenda dan sebagainya".
1.4 Unsur – unsur Hukum
Dari bebarapa perumusan tentang hukum yang
diberikan para Sarjana Hukum Indonesia tersebut di atas, dapatlah diambil
kesimpulan, bahwa Hukum itu meliputi beberapa unsur, yaitu :
a.Peraturan
tentang tingkah laku atau perilaku manusia dalam pergaulan masyarakat
b.Peraturan itu diadakan oleh setiap
badan-badan resmi yang berwajib
c.
Peraturan itu memiliki sifat memaksa
d.
Sanksi terhadap pelangggaran peraturan tersebut ialah tegas
1.5 Ciri – ciri Hukum
Untuk dapat mengenal hukum itu kita
harus dapat mengenal ciri-ciri humum yaitu:
a. adanya perintah dan atau larangan.
b.Perintah dan atau larangan itu harus
patuh ditaati setiap orang. sehingga tata tertib dalam masyarakat itu tetap terpelihara dengan sebaik – baiknya. Oleh karena itulah hukum meliputi berbagai peraturan yang menentukan dan mengatur perhubungan orang yang satu dengan yang lain, yakni peraturan-peraturan
hidup kemasyarakatan yang di namakan kaidah hukum.
Barang siapa yang dengan sengaja
melanggar sesuatu Kaidah Hukum akan dikenakan sanksi (sebagai akibat pelanggaran
Kaidah Hukum) yang berupa hukuman.
1.6 Sifat Dari Hukum
Agar tata tertib dalam masyarakat itu
tetap terpelihara, maka haruslah kaidah-kaidah hukum itu ditaati. Akan tetapi
tidaklah semua orang mau menaati kaidah-kaidah hukum itu; dan agar sesuatu
peraturan hidup kemasyarakatan benar-benar dipatuhi dan ditaati sehingga
menjadi Kaidah Hukum maka peraturan hidup kemasyarakatan itu mesti
diperlengkapi dengan unsur memaksa.
Dengan demikian hukum ini memiliki
sifat mengatur dan memaksa. Ia merupakan peraturan-peraturan hidup
kemasyarakatan yang dapat memaksa orang supaya mentaati tata tertib dalam
masyarakat serta memberikan sanksi yang tegas berupa hukuman terhadap siapa
yang tidak mau patuh mentaatinya.
2. Tujuan Hukum
Secara umum tujuan hukum dirumuskan sebagai
berikut:
a. Untuk mengatur tata tertib masyarakat secara
damai dan adil.
b. Untuk menjaga kepentingan tiap manusia supaya
kepentingan itu tidak dapat diganggu.
c. Untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam
pergaulan manusia.
Tujuan pokok dari hukum adalah terciptanya
ketertiban dalam masyarakat. Ketertiban adalah tujuan pokok dari hukum.
Ketertiban merupakan syarat pokok (fundamental) bagi adanya suatu masyarakat
manusia di manapun juga. Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat diperlukan
adanya kepastian hukum dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat. Tanpa
kepastian hukum dan ketertiban masyarakat, manusia tidak mungkin mengembangkan
bakat-bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal.
Dengan demikian, tujuan hukum adalah terpelihara dan
terjaminnya kepastian dan ketertiban. Selain itu, menurut Mochtar
Kusumaatmadja, tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan. Namun,
keadilan itu sering dipahami secara berbeda-beda isi dan ukurannya, menurut
masyarakat dan zamannya.
Berkenaan dengan tujuan hukum, maka
kita akan mengenal beberapa pendapat para ahli hukum tentang tujuan hukum yang
diantaranya sebagai berikut :
a. Prof. Subekti S.H
Didalam buku yang ditulis berjudul
“Dasar-dasar Hukum dan Pengadilan” Prof Subekti S.H telah menyatakan bahwa
hukum itu mengabdikan diri pada tujuan negara yang terdapat didalam pokoknya adalah
untuk mendatangkan sebuah kemakmuran dan mendatangkan kebahagiaan kepada
rakyatnya.
b. Prof. Mr Dr. LJ. Apeldoorn
Didalam bukunya “inleiding tot de
studie van het nederlandse recht” menyatakan bahwa tujuan hukum adalah mengatur
segala pergaulan hidup manusia dengan damai". Hukum menghendaki adanya
perdamaian.
c. Teori Etis
Terdapat sebuah teori yang telah
mengajarkan bahwa hukuman itu semata-mata untuk menginginkan keadilan.
Teori-teori yang mengajarkan mengenai hal tersebut dikatakan sebagai teori
etis, karena menurut teori ietis, isi hukum semata-mata mesti ditentukan oleh
setiap kesadaran etis kita tentang apa yang adil dan apa yang tak adil.
Tujuan Hukum Perbankan Syariah
Bank syariah adalah bank yang
aktivitasnya meninggalkan masalah riba. Dengan demikian, penghindaran bunga
yang dianggap riba merupakan salah satu tantangan yang dihadapi dunia Islam
dewasa ini. Suatu hal yang sangat menggembirakan bahwa belakangan ini para
ekonom Muslim telah mencurahkan perhatian besar, guna menemukan cara untuk
menggantikan sistem bunga dalam transaksi perbankan dan membangun model teori
ekonomi yang bebas dan pengujiannya terhadap pertumbuhan ekonomi, alokasi dan
distribusi pendapatan. Oleh karena itu, maka mekanisme perbankan bebas bunga
yang biasa disebut dengan bank syariah didirikan. Tujuan perbankan syariah
didirikan dikarenakan pengambilan riba dalam transaksi keuangan maupun non
keuangan (QS. Al-Baqarah 2 : 275). Dalam sistem bunga, bank tidak akan tertarik
dalam kemitraan usaha kecuali bila ada jaminan kepastian pengembalian modal dan
pendapatan bunga (Zaenul Arifin, 2002: 39-40).
3.
Sumber – Sumber Hukum
Sumber Hukum adalah sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai
kekuatan yang bersifat memaksa, yaitu apabila dilanggar akan mengakibatkan
timbulnya sanksi yang tegas dan nyata. Sumber hukum dilihat dari dua segi, diantaranya segi material
dan segi formal.
Sumber hukum material adalah segala kaidah, aturan, atau norma yang menjadi patokan atau sumber dari manusia untuk bersikap dan bertindak. Atau sumber hukum materi yaitu tempat dari manakah material itu diambil. Suatu keyakinan atau perasaan hukum dari individu dan juga pendapat umum yang dapat menentukan isi hukum. Dengan begitu, keyakinan atau perasaan hukum individu dan pendapat umum merupakan faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan hukum.
Hukum formal adalah dapat disebut juga sebagai penerapan dari hukum material, sehingga hukum formal dapat berjalan serta ditaati oleh semua objek hukum. Berikut ini macam-macam atau sumber-sumber dari hukum formal:
· Yang
pertama yaitu Undang-undang, merupakan suatu peraturan yang memiliki kekuatan
hukum yang mengikat, yang dipelihara oleh penguasa Negara tersebut. Misalnya
seperti: UU, PP, Perpu dan lain sebagainya.
· Yang
kedua yaitu kebiasaan, merupakan perbuatan yang sama yang dilakukan secara
terus-menerus sehingga menjadi suatu hal yang selayaknya dilakukan. Seperti
misalnya: adat-adat di daerah yang dilakukan secara turun-temurun yang sudah
menjadi hukum di daerah tersebut. Kebiasaan yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum dan
memiliki kekuatan yang berlaku harus memenuhi beberapa kriteria berikut:
a. Harus
ada perbuatan atau tindakan tertentu yang dilakukan secara berulangkali
dalam hal yang sama, serta diikuti secara umum atau oleh orang banyak.
b. golongan yang berkepentingan.
Keyakinan hukum yang dimaksud adalah aturan tersebut memiliki nilai yang baik
dan layak untuk diikuti serta diyakini mempunyai kekuatan mengikat.
· Yang
ketiga yaitu Yurisprudensi, merupakan keputusan dari hakim pada masa lalu atau
masa lampau pada suatu perkara yang sama sehingga dijadikan keputusan oleh para
hakim pada masa selanjutnya. Hakim sendiri bisa membuat keputusan sendiri,
apabila perkara tersebut tidak diatur sama sekali di dalam UU.
· Yang
keempat yaitu traktat, Traktat adalah jenis perjanjian yang dilakukan oleh dua
negara atau lebih. Perjanjian yang dilakukan oleh hanya 2 (dua) negara disebut
sebagai Traktat Bilateral, sedangkan Perjanjian
yang dilakukan oleh lebih dari 2 (dua) negara disebut sebagai Traktat
Multilateral. Terdapat juga Traktat Kolektif, yakni berupa
perjanjian antara beberapa negara yang kemudian perjanjian tersebut dibuka bagi
negara-negara lainnya untuk dapat mengikatkan diri dalam perjanjian
tersebut.
· Dan
yang kelima yaitu doktrin hukum, merupakan pendapat dari para ahli hukum
terkemuka, yang dijadikan dasar ataupun asas-asas penting dalam hukum dan juga
penerapannya.
Dasar Hukum Perbankan Syariah Menurut
Perundang – undangan
Bank Syariah secara yuridis formal di Indonesia memiliki dasar diantaranya:
• Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan
• Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan
• Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia
• Undang-Undang Nomor 3 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia
• Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentangPeradilan Agama
• Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
• Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
Bank Syariah secara yuridis formal di Indonesia memiliki dasar diantaranya:
• Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan
• Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan
• Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia
• Undang-Undang Nomor 3 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia
• Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentangPeradilan Agama
• Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
• Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
Peraturan Bank Indonesia mengenai
Perbankan syariah
Pada tanggal 12 Mei 1999, Direksi Bank Indonesia mengeluarkan tiga buah Surat Keputusan sebagai pengaturan lebih lanjut Bank Syariah sebagaimana telah dikukuhkan melalui Undang-undang No. 10 Tahun 1998, yakni :
Pada tanggal 12 Mei 1999, Direksi Bank Indonesia mengeluarkan tiga buah Surat Keputusan sebagai pengaturan lebih lanjut Bank Syariah sebagaimana telah dikukuhkan melalui Undang-undang No. 10 Tahun 1998, yakni :
1. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
No. 32/33/KEP/DIR tentang Bank Umum, khususnya Bab XI mengenai Perubahan
Kegiatan Usaha dan Pembukaan Kantor Cabang Syariah;
2. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
No. 32/34/KEP/DIR tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah ; dan
3. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
No. 32/36/KEP/DIR tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.
Selanjutnya berkenaan dengan
operasional dan instrumen yang dapat dipergunakan Bank Syariah, pada tanggal 23
Februari 2000 Bank Indonesia secara sekaligus mengeluarkan tiga Peraturan Bank
Indonesia, yakni :
1. Peraturan Bank Indonesia No. 2/7/PBI/2000
tentang Giro Wajib Minimum Dalam Rupiah Dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Yang
Melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah , yang mengatur mengenai
kewajiban pemeliharaan giro wajib minimum bank umum yang melakukan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah;
2. Peraturan Bank Indonesia No.
2/8/PBI/2000 tentang Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah, yang
dikeluarkan dalam rangka menyediakan sarana penanaman dana atau pengelolaan
dana antarbank berdasarkan prinsip syariah; dan
3. Peraturan Bank Indonesia No.
2/9/PBI/2000 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) , yakni sertifikat
yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana berjangka pendek
dengan prinsip Wadiah yang merupakan piranti dalam pelaksanaan pengendalian
moneter semacam Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dalam praktek perbankan
konvensional.
Berkenaan dengan peraturan-peraturan
Bank Indonesia di atas, relevan dikemukakan dalam hal ini mengenai tugas Bank
Indonesia dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter berdasarkan
prinsip syariah, sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia (UUBI). Pasal 10 ayat (2) UUBI memberikan kewenangan
kepada Bank Indonesia untuk menggunakan cara-cara berdasarkan prinsip syariah
dalam melakukan pengendalian moneter. Kemudian Pasal 11 ayat (1) UUBI juga
memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk mengatasi kesulitan pendanaan
jangka pendek suatu Bank dengan memberikan pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari. Dipandang dari
sudut lain, dengan demikian UU BI sebagai undang-undang bank sentral yang baru
secara hukum positif telah mengakui dan memberikan tempat bagi penerapan
prinsip-prinsip syariah bagi Bank Indonesia dalam melakukan tugas dan
kewenangannya.
4. Peraturan Perundangan Negara Republik Indonesia
1. Masa Sebelum Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Berdasarkan atau bersumber pada UU Sementara 1959 dan Konstitusi RIS 1949, peraturan perundangan di Indonesia terdiri dari :
a. UUD 1945
b. UU dan UU Darurat
c. Peraturan Pemerintah tingkat Pusat
d. Peraturan Pemerintah tingkat Daerah
1. Masa Sebelum Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Berdasarkan atau bersumber pada UU Sementara 1959 dan Konstitusi RIS 1949, peraturan perundangan di Indonesia terdiri dari :
a. UUD 1945
b. UU dan UU Darurat
c. Peraturan Pemerintah tingkat Pusat
d. Peraturan Pemerintah tingkat Daerah
Bentuk dan tata urutan peraturan perundangan menurut Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966 (dikuatkan Ketetapan MPR. No V/MPR/1973) adalah sebagai berikut :
a. UUD 1945
b. Ketetapan MPR
c. UU dan Peraturan pemerintah sebagai pengganti UU (PERPU)
d. Peraturan Pemerintah (PP)
e. Keputusan Presiden (KEPPRES)
f. Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya
Perbankan
Islam di Indonesia
Rintisan
praktek perbankan Islam di Indonesia dimulai pada awal periode 1980-an, melalui
diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam. Tokoh-tokoh
yang terlibat dalam pengkajian tersebut, untuk menyebut beberapa, di antaranya
adalah Karnaen A Perwataatmadja, M Dawam Rahardjo, AM Saefuddin, dan M Amien
Azis. Sebagai uji coba, gagasan perbankan Islam dipraktekkan dalam skala yang
relatif terbatas di antaranya di Bandung (Bait At-Tamwil Salman ITB) dan di
Jakarta (Koperasi Ridho Gusti). Sebagai gambaran, M Dawam Rahardjo dalam
tulisannya pernah mengajukan rekomendasi Bank Syari’at Islam sebagai konsep
alternatif untuk menghindari larangan riba, sekaligus berusaha menjawab tantangan
bagi kebutuhan pembiayaan guna pengembangan usaha dan ekonomi masyarakat. Jalan
keluarnya secara sepintas disebutkan dengan transaksi pembiayaan berdasarkan
tiga modus, yakni mudlarabah, musyarakah dan murabahah.
Prakarsa lebih khusus mengenai pendirian Bank Islam di Indonesia baru dilakukan tahun 1990. Pada tanggal 18 – 20 Agustus tahun tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22 – 25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait.
Sebagai
hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirinya PT Bank Muamalat
Indonesia (BMI), yang sesuai akte pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 Nopember
1991. Sejak tanggal 1 Mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar
Rp 106.126.382.000,-. Sampai bulan September 1999, BMI telah memiliki lebih
dari 45 outlet yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Kelahiran
Bank Islam di Indonesia relatif terlambat dibandingkan dengan negara-negara
lain sesama anggota OKI. Hal tersebut merupakan ironi, mengingat pemerintah RI
yang diwakili Menteri Keuangan Ali Wardana, dalam beberapa kali sidang OKI
cukup aktif memperjuangkan realisasi konsep bank Islam, namun tidak
diimplementasikan di dalam negeri. KH Hasan Basri, yang pada waktu itu sebagai
Ketua MUI memberikan jawaban bahwa kondisi keterlambatan pendirian Bank Islam
di Indonesia karena political-will belum mendukung.
Selanjutnya
sampai diundangkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, BMI merupakan satu-satunya
bank umum yang mendasarkan kegiatan usahanya atas syariat Islam di Indonesia.
Baru setelah itu berdiri beberapa Bank Islam lain, yakni Bank IFI membuka
cabang Syariah pada tanggal 28 Juni 1999, Bank Syariah Mandiri yang merupakan
konversi dari Bank Susila Bakti (BSB), anak perusahaan Bank Mandiri, serta
pendirian lima cabang baru berupa cabang syariah dari PT Bank Negara Indonesia
(Persero) Tbk. Per bulan Februari 2000, tercatat di Bank Indonesia bank-bank
yang sudah mengajukan permohonan membuka cabang syariah, yakni: Bank Niaga,
Bank BTN, Bank Mega, Bank BRI, Bank Bukopin, BPD Jabar dan BPD Aceh.
5.
Kodifikasi Hukum
Menurut bentuknya, Hukum itu dibedakan antara :
Menurut bentuknya, Hukum itu dibedakan antara :
1. Hukum Tertulis, yakni hukum yang
dicantumkan dalam berbagai peraturan – peraturan.
2. Hukum Tak Tertulis, yaitu hukum yang
masih hidup dalam keyakinan masyarakat, tetapi tidak tertulis namun berlakunya
ditaati seperti suatu peraturan – peraturan (disebut juga hukum kebiasaan).
Kodifikasi Hukum adalah pembukuan jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab undang-undang secara sistematis dan lengkap.
·
Unsur-unsur
dari suatu kodifikasi:
a. Jenis-jenis hukum tertentu
b. Sistematis
c. Lengkap
a. Jenis-jenis hukum tertentu
b. Sistematis
c. Lengkap
· Tujuan
Kodifikasi Hukum tertulis untuk memperoleh:
a. Kepastian hukum
b. Penyederhanaan hukum
c. Kesatuan hukum
a. Kepastian hukum
b. Penyederhanaan hukum
c. Kesatuan hukum
·
Contoh
kodifikasi hukum:
1. Di Eropa :
a. Corpus Iuris Civilis, yang diusahakan oleh Kaisar Justinianus dari kerajaan Romawi Timur dalam tahun 527-565.
b. Code Civil, yang diusahakan oleh Kaisar Napoleon di Prancis dalam tahun 1604.
2. Di Indonesia :
a. Kitab Undang-undang Hukum Sipil (1 Mei 1848)
b. Kitab Undang-undang Hukum Dagang (1 Mei 1848)
c. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (1 Jan 1918)
d. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (31 Des 1981)
1. Di Eropa :
a. Corpus Iuris Civilis, yang diusahakan oleh Kaisar Justinianus dari kerajaan Romawi Timur dalam tahun 527-565.
b. Code Civil, yang diusahakan oleh Kaisar Napoleon di Prancis dalam tahun 1604.
2. Di Indonesia :
a. Kitab Undang-undang Hukum Sipil (1 Mei 1848)
b. Kitab Undang-undang Hukum Dagang (1 Mei 1848)
c. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (1 Jan 1918)
d. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (31 Des 1981)
6.
12 Macam – Macam Pembagian Hukum
1.
Pembagian Hukum Menurut Asas
Pembagiannya
Walaupun hukum itu terlalu luas sekali sehingga orang tak dapat membuat definisi singkat yang meliputi segala – galanya, namum dapat juga hukum itu dibagi dalam beberapa golongan hukum menurut beberapa asas pembagian, sebagai berikut :
Walaupun hukum itu terlalu luas sekali sehingga orang tak dapat membuat definisi singkat yang meliputi segala – galanya, namum dapat juga hukum itu dibagi dalam beberapa golongan hukum menurut beberapa asas pembagian, sebagai berikut :
1. Menurut sumbernya :
· Hukum
undang-undang, yaitu hukum yang tercantum dalam peraturan perundangan.
· Hukum
adat, yaitu hukum yang terletak dalam peraturan-peraturan kebiasaan.
· Hukum
traktat, yaitu hukum yang ditetapkan oleh Negara-negara suatu dalam perjanjian
Negara.
·
Hukum
jurisprudensi, yaitu hukum yang terbentuk karena putusan hakim.
· Hukum
doktrin, yaitu hukum yang terbentuk dari pendapat seseorang atau beberapa orang
sarjana hukum yang terkenal dalam ilmu pengetahuan hukum.
2. Menurut bentuknya :
· Hukum
tertulis, yaitu hukum yang dicantumkan pada berbagai perundangan.
· Hukum
tidak tertulis (hukum kebiasaan), yaitu hukum yang masih hidup dalam keyakinan
masyarakat, tapi tidak tertulis, namun berlakunya ditaati seperti suatu
peraturan perundangan.
3. Menurut tempat berlakunya :
·
Hukum
nasional, yaitu hukum yang berlaku dalam suatu Negara.
· Hukum
internasional, yaitu yang mengatur hubungan hubungan hukum dalam dunia
internasional.
4. Menurut waktu berlakunya :
· Ius
constitutum (hukum positif), yaitu hukum yang berlaku sekarang bagi suatu masyarakat tertentu dalam suatu daerah tertentu.
· Ius
constituendum, yaitu hukum yang diharapkan berlaku pada masa yang akan datang.
· Hukum
asasi (hukum alam), yaitu hukum yang berlaku dimana-mana dalam segala waktu dan
untuk segala bangsa di dunia.
5. Menurut cara mempertahankannya :
· Hukum
material, yaitu hukum yang memuat peraturan yang mengatur kepentingan dan
hubungan yang berwujud perintah-perintah dan larangan.
· Hukum
formal, yaitu hukum yang memuat peraturan yang mengatur tentang bagaimana cara
melaksanakan hukum material.
6. Menurut sifatnya :
· Hukum
yang memaksa, yaitu hukum yang dalam keadaan bagaimanapun mempunyai paksaan
mutlak.
· Hukum
yang mengatur, yaitu hukum yang dapat dikesampingkan apabila pihak-pihak yang
bersangkutan telah membuat peraturan sendiri.
7. Menurut wujudnya :
·
Hukum
obyektif, yaitu hukum dalam suatu Negara berlaku umum.
· Hukum
subyektif, yaitu hukum yang timbul dari hukum obyektif dan berlaku pada orang
tertentu atau lebih. Disebut juga hak.
8. Menurut isinya :
·
Hukum
privat, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara orang yang satu dengan yang
lain dengan menitik beratkan pada kepentingan perseorangan.
· Hukum
publik, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara Negara dengan alat
kelengkapannya ata hubungan antara Negara dengan warganegara.
2. Hukum Sipil (Privat) Dan Hukum Publik
Hukum sipil berhubungan antara anggota masyarakat itu sebagai perorangan satu sama lain. Hukum Sipil mengatur susunan masyarakat terdiri dari keluarga serta hubungan antara anggota masing-masing dan pula mengatur kekayaan badan-badan khusus, serta hubungan hukum antara badan-badan tersebut satu dengan lain termasuk badan pemerintah apabila turut serta dalam pergaulan hukum sebagai badan khusus.
Hukum sipil berhubungan antara anggota masyarakat itu sebagai perorangan satu sama lain. Hukum Sipil mengatur susunan masyarakat terdiri dari keluarga serta hubungan antara anggota masing-masing dan pula mengatur kekayaan badan-badan khusus, serta hubungan hukum antara badan-badan tersebut satu dengan lain termasuk badan pemerintah apabila turut serta dalam pergaulan hukum sebagai badan khusus.
Yang Termasuk Hukum Sipil ialah :
1. Hukum Perdata
2. Hukum Dagang
3. Hukum Sipil Internasional
Hukum Publik mengatur kepentingan umum. Hukum publik mengatur perhubungan antara seseorang sebagai anggota masyarakat dengan pemerintah sebagai penguasa dan pengatur tata-tertib masyarakat itu.
Hukum publik mengatur susunan negara, mengatur cara bagaimana alat-alat perlengkapan negara harus bekerja serta hubungan antara alat-alat perlengkapan negara satu sama lain.
Yang Termasuk Hukum Publik ialah :
1. Hukum Tata Negara
2. Hukum Pidana
3. Hukum Acara Pidana dan Sipil
4. Hukum Administrasi
Perbedaan kedua hukum ini :
Sekalipun perbedaan antara kedua hukum tersebut tidak dapat dinyatakan secara tegas, namun sebagai dasar pemisahan dapt dipergunakan pedoman sebagai berikut : Peraturan hukum termasuk peraturan hukum publik, apabila pemeliharaannya dalam hal pelanggaran terhadap peraturan itu, tuntutannya diurus dan dilakukan oleh penguasa.
Peraturan hukum termasuk peraturan hukum sipil, apabila pemeliharaannya dalam hal pelanggaran terhadap peraturan itu, tuntutannya diurus dan dilakukan oleh penguasa.
Peraturan hukum termasuk peraturan hukum sipil, apabila pemeliharaannya dalam hal pelanggaran terhadap peraturan itu, baru akan dituntut atau hanya akan dituntut oleh penguasa sudah ada permohonan dari yang berkepentingan.
3. Perbedaan Hukum Perdata (Sipil) dengan Hukum Pidana
1. Perbedaan isinya
a. Hukum Perdata mengatur
hubungan-hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain dengan menitik beratkan kepada kepentingan perseorangan.
b. Hukum Pidana mengatur
hubungan-hukum antara seorang anggota masyarakat (warganegara) dengan negara yang menguasai tata tertib masyarakat itu.
2. Perbedaan
Pelaksanaanya
a. Pelanggaran terhadap norma-hukum
perdata baru diambil tindakan oleh pengadilan setelah ada pengaduan oleh pihak berkepentingan yang merasa dirugikan. Pihak yang mengadu, menjadi penggugat dalam perkara itu.
b.Pelanggaran terhadap norma hukum
pidana, pada umumnya segera diambil tindakan oleh pengadilan tanpa ada pengaduan dari pihak yang dirugikan.
3. Perbedaan
Menafsirkan
a. Hukum Perdata memperbolehkan untuk
mengadakan macam-macam interprestasi terhadap Undang-Undang Hukum Perdata.
b. Hukum Pidana hanya boleh ditafsirkan menurut
arti kata dalam Undang- Undang Pidana itu sendiri. Hukum Pidana hanya mengenal penafsiran authentik, yaitu penafsiran yang tercantum Undang-Undang Hukum Pidana itu sendiri (Titel IX dari buku ke I Kitab Undang-undang Hukum Pidana).
Larangan Dan Tindak Pidana Perbankan Syariah
Tindak
Pidana Perbankan Syariah adalah serangkaian perbuatan terlarang dan tercela
dalam kaitan dengan kegiatan usaha yang dilakukan seseorang atau badan hukum
dibidang perbankan syariah.
sebagaimana
diatur dalam pasal 59 sampai dengan pasal 66, Undang Undang No.21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah. Selanjutnya bahwa tindak pidana tersebut meliputi
pelaku perbuatan, baik perseorangan maupun badan hukum atau koorporat, sebagai
berikut :
1.Bahwa
dipidana setiap orang atau badan atau korporat, yang melakukan kegiatan
menghimpun dana dalam bentuk simpanan atau investasi berdasarkan prinsip
syariah, tanpa Izin dari pihak bank Indonesia.
2.Bahwa
dipidana bagi setiap orang yang dengan sengaja tanpa membawa surat izin atau
surat perintah dari Bank Indonesia, Memaksa Bank syariah, Unit Usaha Syariah
atau pihak terafiliasi, untuk memberikan keterangan tentang rahasia bank. Juga
bagi anggota dewan Komisaris, Direksi dan Pegawai bank syariah atau bank umum konvensional yang memiliki
unit usaha syariah, yang sengaja memberi keterangan yang wajib dirahasiakan
mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya atau nasabah investor dan
investasinya.
3.Bahwa dipidana anggota dewan Komisaris, Direksi dan
Pegawai bank syariah atau bank umum
konvensional yang memiliki unit usaha syariah, yang sengaja tidak memberi
keterangan yang wajib dipenuhi atas permintaan dan izin atau kuasa tertulis
dari nasabah penyimpan atau nasabah investor , tentang simpanan
atauinvestasinya kepada pihak yang ditunjuk oleh nasabah. Termasuk untuk
memberikan keterangan tentang simpanan atau investasi nasabah kepada ahli
warisnya apabila nasabah ybs telah mennggal dunia (wafat).
4.Bahwa
dipidana anggota dewan Komisaris, Direksi dan Pegawai bank syariah atau bank umum konvensional yang memiliki
unit usaha syariah, yang dengan sengaja tidak menyampaikan laporan keuangan
berupa Neraca tahunan dan perhitungan laba rugi tahunan yang telah diaudit
terlebih dahulu oleh kantor akuntan publik, dan penjelasan prinsip akuntansi
syariah yang berlaku umum serta laporan berkala lainnya kepada Bank Indonesia,
dalam waktu dan bentuk yang telah diatur dalam peraturan bank Indonesia.
5.Bahwa
dipidana anggota dewan Komisaris, Direksi dan Pegawai bank syariah atau bank umum konvensional yang memiliki
unit usaha syariah, yang dengan sengaja membuat atau menyebabkan adanya
pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan
kegiatan usaha, dan atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank Syariah
atau Unit Usaha syariah.
6.Bahwa
dipidana anggota dewan Komisaris, Direksi dan Pegawai bank syariah atau bank umum konvensional yang memiliki
unit usaha syariah, yang dengan sengaja menghilangkan, mengubah, mengaburkan,
menyembunyikan atau tidak membuat yang
benar catatan atau pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan
usaha, dan atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank Syariah atau Unit
Usaha syariah.
7.Bahwa
dipidana anggota dewan Komisaris, Direksi dan Pegawai bank syariah atau bank umum konvensional yang memiliki
unit usaha syariah, yang dengan sengaja Meminta atau Menerima Mengizinkan atau
Menyetujui untuk menerima sesuatu imbalan, komisi atau uang tambahan,
Pelayanan, Uang atau barang berharga untuk keuntungan pribadinya atau keluarganya,
dalam rngka memperoleh atau berusaha memperoleh untuk orang lain, dalam
memperoleh Uang Muka, Bank Garansi, atau fasilitas penyaluran dana dari bank
syariah atau unit usaha syariah. Atau Melakukan pembelian oleh bank syariah
berupa surat wessel, cek, promes dan surat dagang atau bukti kewajiban lainnya.
Atau untuk memberikan persetujuan bagi orang lain untuk penarikan dananya yang
melebihi batas penyaluran dananya kepada bank syariah atau unit usaha syariah.
Dan atau tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan
ketaatan bank syariah atau Unit Usaha Syariah kepada Undang Undang Tentang
Perbankan Syariah.
8.Bahwa
dipidana pihak terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan
langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Syariah atau
bank umum Konvensional yang memiliki Unit usaha Syariah terhadap ketentuan
dalam Undang Undang Tentang Perbankan Syariah.
9.Bahwa
dipidana Pemegang saham yang dengan sengaja menyuruh anggota dewan Komisaris,
Direksi dan Pegawai bank syariah atau
bank umum konvensional yang memiliki unit usaha syariah, untuk melakukan atau
tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan bank syariah atau unit usaha
syariah tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan
ketaatan Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah terhadap Undang Undang Tentang
Perbankan Syariah.
Kesimpulan :
Bahwa
tindak pidana perbankan syariah dominan mengikat dan berlaku khusus terhadap
pengelola bank syariah atau bank umum konvensional yang memiliki unit usaha
syariah, yang meliputi Anggota Dewan Komisaris, dan Direksi serta Pegawai bank
Syariah maupun badan hukum yang terafiliasi dengan bank syariah atau unit usaha
syariah.
4. Perbedaan acara Perdata (Hukum Acara
Perdata) dengan acara Pidana (Hukum Acara Pidana)
Hukum Acara Perdata, ialah hukum yang
mengatur bagaimana cara-cara memelihara dan mempertahankan hukum perdata
material. Hukum Acara Pidana, ialah hukum yang mengatur bagaimana cara-cara
memelihara dan mempertahankan hukum pidana material.
Berikut penjelasan secara singkatnya,
mengenai beberapa perbedaan dengan sebagai berikut :
1. Perbedaan Mengadili
:
· Hukum
Acara Perdata mengatur cara-cara mengadili perkara perdata di muka pengadilan
perdata oleh Hakim perdata.
· Hukum
Acara Pidana mengatur cara-cara mengadili perkara pidana di muka pengadilan
pidana oleh Hakim pidana.
2. Perbedaan Pelaksanaan
:
·
Pada
Acara Perdata inisiatif datang dari pihak yang berkepentingan yang dirugikan.
·
Pada
Acara Pidana ini inisiatifnya itu datang dari penuntut umum (Jaksa).
3. Perbedaan dalam Penuntutan
:
·
Dalam
Acara Perdata, yang menuntut si tergugat adalah pihak yang dirugikan. Penggugat
berhadapan dengan tergugat. Jadi tidak terdapat penuntut umum atau Jaksa.
· Dalam
Acara Pidana, Jaksa menjadi penuntut terhadap si tetdakwa. Jaksa sebagai
penuntut umum yang mewakili negara, berhadapan dengan si terdakwa. Jadi disini
terdapat seorang Jaksa.
4. Perbedaan Alat-alat
Bukti :
· Dalam
Acara Perdata sumpah merupakan alat pembuktian (terdapat 5 alat bukti yaitu :
tulisan, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah).
·
Dalam
Acara Pidana ada 4 alat bukti (kecuali sumpah).
5. Perbedaan Penarikan
Kembali Suatu Perkara :
· Dalam
Acara Perdata, sebelum ada putusan Hakim, pihak-pihak yang bersangkutan boleh
menarik kembali perkaranya.
·
Dalam
Acara Pidana, tidak dapat ditarik kembali.
6. Perbedaan Kedudukan
para pihak :
· Dalam
Acara Perdata, pihak-pihak mempunyai kedudukan yang sama. Hakim bertindak hanya
sebagai wasit, dan bersifat pasif.
· Dalam
Acara Pidana, Jaksa kedudukannya lebih tinggi dari terdakwa. Hakim juga turut
aktif.
7. Perbedaan dalam
dasar Keputusan Hakim :
· Dalam
Acara Perdata, putusan Hakim itu cukup dengan mendasarkan diri kepada kebenaran
formal saja (akta tertulis).
· Dalam
Acara Pidana, putusan Hakim harus mencari kebenaran material (menurut
keyakinan, perasaan keadilan hakim sendiri).
8. Perbedaan Macamnya
Hukuman :
· Dalam
Acara Perdata, tergugat yang terbukti kesalahannya maka akan di hukum denda,
atau hukuman kurungan sebagai pengganti denda.
· Dalam
Acara Pidana, terdakwa yang terbukti kesalahannya maka di pidana mati, penjara,
kurungan atau denda, mungkin ditambah dengan pidana tambahan seperti ; dicabut
hal-hak tertentu dan lain-lain.
9. Perbedaan dalam Bandingan
(pemeriksaan tingkat banding) :
· Bandingan
perkara Perdata dari Pengadilan Negeri ke Pengadilan Tinggi disebut Appel.
· Bandingan
perkara Pidana dari Pengadilan Negeri ke Pengadilan Tinggi disebut Revisi.(Appel dan revisi, dalam bahasa
Indonesia keduanya disebut banding).
5. Golongan Hukum Perdata Lainnya
Hukum perdata itu berlaku terhadap
penduduk dalam suatu negara yang tunduk pada hukum
perdata yang berlainan, maka yang berlaku adalah hukum perselisihan atau hukum
koalisi atau konflik atau hukum antar tata hukum.
Hukum perselisihan ialah kesemuanya kaidah hukum yang menentukan hukum manakah atau hukum apakah yang berlaku apabila dalam suatu peristiwa hukum tersangkut lebih dari satu sistem hukum.
Dapat juga dikatakan hukum perselisihan itu adalah peraturan – peraturan hukum yang mengatur hukum nasional manakah yang berlaku, bila terjadi perselisihan antar hukum nasional yang satu dengan hukum nasional yang lain.
Hukum perselisihan itu ada beberapa jenis yaitu:
1.
Hukum
antar golongan atau hukum intergentil
2.
Hukum
antar tempat atau hukum interlocal
3.
Hukum
antar bagian atau hukum interregional
4.
Hukum
antar agama atau hukum interreligius
5.
Hukum
antar waktu atau hukum intertemporal = hukum transistor
6. Hukum yang dikodifikasikan dan hukum yang tidak dikodifikasikan
Hukum yang dikodifikasikan ialah
hukum tertulis, tetapi tidak semua hukum tertulis itu telah dikodifikasikan,
sehingga hukum tertulis itu dapat dibedakan antara :
1. Hukum Tertulis yang telah dikodifiksikan misalnya :
a. Hukum Pidana, yang telah dikodifiksikan dalam Kitab Undang-Undang hukum Pidana (KUHP) tahun 1918
b. Hukum Sipil yang telah dikodifiksikan dalam Kitab Undang-Undang hukum Sipil (KUHS) paa tahun 1848
c. Hukum Dagang yang telah dikodifiksikan dalam Kitab Undang-Undang Dagang (KUHD) pada tahun 1848.
d. Hukum Acara Pidana yang telah dikodifiksikan dalam Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada tahun 1981.
1. Hukum Tertulis yang telah dikodifiksikan misalnya :
a. Hukum Pidana, yang telah dikodifiksikan dalam Kitab Undang-Undang hukum Pidana (KUHP) tahun 1918
b. Hukum Sipil yang telah dikodifiksikan dalam Kitab Undang-Undang hukum Sipil (KUHS) paa tahun 1848
c. Hukum Dagang yang telah dikodifiksikan dalam Kitab Undang-Undang Dagang (KUHD) pada tahun 1848.
d. Hukum Acara Pidana yang telah dikodifiksikan dalam Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada tahun 1981.
Jelas bahwa Hukum Pidana, Hukum Acara Pidana, Hukum Perdata dan Hukum Dagang bentuknya adalah tertulis dan dikodifiksikan.
2. Hukum Tertulis yang tidak dikodifiksikan misalnya
a.
Peraturan
tentang Hak Merek Perdagangan
b.
Peraturan
tentang Hak Otroi (hak menemukan dibidang industri)
c.
Peraturan
tentang Hak Cipta
d.
Peraturan
tentang Ikatan Perkreditan
e.
Peraturan
tentang Ikatan Panen
f.
Peraturan
tentang Kepailitan
g.
Peraturan
tentang Penundaan Pembayaran (dalam keadaan pailit)
Peraturan-peraturan ini berlaku sebagai perturan-pertauran dalam bidang Hukum Dagang dan merupakan Hukum Dagang yang tidak dikodifikasikan.
Referensi :
·
Achmad
Ichsan, 1967. Hukum Perdata IA. PT Pembimbing Masa: Jakarta.
·
Yulies
Tiena Masriani, 2004. Pengantar Hukum Indonesia. Yang menerbitkan PT Sinar
Grafika : Jakarta.
· Peter
Mahmud Marzuki, 2009. Pengantar Ilmu Hukum. Yang menerbitkan Kencana Prenada
Media Group: Jakarta.
· Ismail,
2013. Perbankan Syariah. Penerbit Kencana Prenada Media Group : Jakarta.
·
http://nurozi.staff.uii.ac.id/2015/06/06/hukum-perbankan-syariah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar